Surabaya, DKPP – Aspek hukum material Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) sesuai ketentuan Pasal 109 Ayat 2 Undang-undang Nomor 15 tahun 2015 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, DKPP memiliki kewenangan yang cukup besar dalam menegakkan kode etik penyelenggara Pemilu.
DKPP dibentuk untuk memeriksa dan memutuskan pengaduan dan/atau laporan adanya dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh anggota KPU, anggota KPU Provinsi, anggota KPU Kabupaten/Kota, anggota PPK, anggota PPS, anggota PPLN, anggota KPPS, anggota KPPSLN, anggota Bawaslu, anggota Bawaslu Provinsi dan anggota Panwaslu Kabupaten/Kota, anggota Panwaslu Kecamatan, anggota Pengawas Pemilu Lapangan dan anggota Pengawas Pemilu Luar Negeri.
Desain ini dipandang oleh KPU dan Bawaslu tidak cukup efektif untuk menjaga integritas proses dan hasil pemilu, utamanya di tingkat kecamatan desa dan kota. Pernyataan ini diungkapkan oleh Anggota DKPP, Dr. Ida Budhiati sebagai pemantik diskusi Kelas A dalam acara Bimbingan Teknis Tim Pemeriksa Daerah (Bimtek TPD) Regional II, di Surabaya, hari kedua, Jumat (23/10/2020). Pada sesi ini, Ida menyampaikan materi dengan tema Kelembagaan, Tugas, dan Wewenang DKPP.
“Di undang-undang 15 Tahun 2011 kewenangan DKPP cukup besar dalam menegakkan etik penyelenggara Pemilu. Kewenangannya absolutely oleh DKPP. Ketentuan Pasal 113 ayat (1) berbunyi ‘apabila dipandang perlu, DKPP dapat menugaskan anggotanya ke daerah untuk memeriksa dugaan adanya pelanggaran kode etik Penyelenggara Pemilu di daerah. undang-undang diatur bahwa untuk memeriksa dugaan kode etik DKPP dapat membentuk tim pemeriksa daerah. Inilah cikal bakal lahirnya TPD,” Ida menjelaskan.
Terkait hal ini lanjut Ida, kemudian KPU dan Bawaslu mengexercise, jika terjadi pelanggaran etik berat di tingkat kecamatan atau extreme tingkat KPPS, baik itu oleh jajaran KPU atau Bawaslu. Apakah harus disidangkan oleh DKPP yang berkedudukan di ibukota negara, Jl. MH. Thamrin? Ada khawatiran hal ini tidak bisa menyelamatkan kepercayaan masyarakat terhadap proses dan hasil pemilu karena penyelenggaran yang diduga terlibat kecurangan, misalnya mendistorsi hasil suara tetapi masih terlibat dalam proses penghitungan dan rekapitulasi.
“Bawaslu dan KPU mempunyai satu gagasan bagaimana proses penegakan etik di tingkat ad hoc bisa dilakukan secara cepat. Quick respon satu hari selesai pada putusan oleh atasan langsungnya,” lanjutnya
Mendengar aspirasi dari KPU dan Bawaslu, DKPP memulai diskusi dengan melihat formulasi norma yang ada di undang-undang. “Jadi kalau baca norma undang-undang, berdebat dari pagi sampai pagi lagi tidak akan selesai, apalagi kalau pendekatannya kekuasaan. Masing-masing institusi merasa punya kewenangan untuk menangani ad hoc. KPU punya mekanisme pengendalian internal untuk menegakkan pelanggaran administrasi sanksi terberatnya berhenti, sementara Bawaslu di undang-undang juga diatur punya mekanisme penegakan pelanggaran administrasi bahkan keputusannya Bawaslu bisa sampai pemberhentian secara tetap untuk badan ad hoc,” urai Ida.
“Jadi kalau tidak dapat pasal, maka tidak akan selesai. Kemudian DKPP mempertimbangkan bahwa untuk mencapai tujuan efisiensi secara substantive, menyelamatkan integritas proses, dan hasil pemilu DKPP didelegasikan kewenangan kepada penyelenggara di tingkat kabupaten untuk memeriksa secara langsung dugaan pelanggaran kode etik badan ad hoc,” tambahnya.
Setelah mekanisme ini dibangun, ada perubahan pelaksanaan kewenangan DKPP yang sebagian didelegasikan kepada penyelenggara tingkat kabupaten. Hal ini bisa dilihat di Peraturan DKPP Nomor 2 Tahun 2019
Unduh Peraturan DKPP Nomor 2 Tahun 2019
Ida kemudian menjelaskan acara yang belum lama diikutinya, yakni forum FGD (Forum Disscussion Group) bersama KPU, Bawaslu dan penyelenggara tingkat kabupaten/kota yang pernah mempunyai pengalaman memeriksa badan ad hoc. Menurut Ida, ada pengalaman menarik dari pendelegasian wewenang urusan etik penyelenggara Pemilu ini. Pertama, pertama dari aspek regulasi ini masih belum satu frekuensi antara KPU dan Bawaslu. Mekanismenya berbeda, kemudian dari dimensi waktu juga berbeda; KPU 14 hari dan Bawaslu 7 hari. Dari sisi implementasi, dasar ‘lesson learn’ pengalaman lembaga penyelenggara tingkat kabupaten kota, belum ada yang bisa memutus dugaan pelanggaran kode etik dalam waktu satu hari.
Kedua, kabupaten kota merasa ini menjadi justru menjadi tugas tambahan mereka. Dan, ketiga adalah penting untuk melakukan riset mini terkait produk dari keputusan atau putusan penyelenggara di tingkat kabupaten kota.
“Bagaimana kualitas pemeriksaan dan kualitas keputusan yang terbaik, karena kami juga tidak ingin ada praktek peradilan etika yang sesat. Yang harusnya diberikan saksi tapi dibebaskan, tapi yang harusnya dibebas tapi diberi sanksi. Ini beberapa catatan sempat saya record dalam pelaksanaan wewenang DKPP yang didelegasikan,” terang Ida.
Di akhir pemantik diskusi, Ida menyebutkan bahwa ada hal yang menarik untuk didiskusikan lebih lanjut yakni terkait akan dipertahankan atau dikembalikan atau bahkan ada usulan format yang baru dalam penegakan kode etik di tingkat ad hoc. [Humas DKPP]