Jakarta, DKPP – Ketua DKPP, Dr. Harjono mengungkapkan jumlah penyelenggara pemilu yang diadukan ke DKPP terkait dugaan pelanggaran Kode Etik Penyelenggara Pemilu (KEPP) selama tahun 2019, sebanyak 1.662 personel dari jajaran KPU dan 705 dari jajaran Bawaslu.
Hal ini disampaikan ketika memberikan keterangan dalam sidang uji materi Perkara Nomor 37/PUU-XVll/2019 di Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Kamis (17/10/2019).
Menurut Harjono, jajaran penyelenggara pemilu yang diadukan ke DKPP terdiri dari jajaran KPU/Bawaslu mulai tingkat pusat, provinsi, kabupaten/kota, sampai pada jajaran ad hoc di tingkat kecamatan dan kelurahan/desa. Juga pada jajaran kesekretariatan yang melekat pada KPU/Bawaslu.
Ia menambahkan, per 16 Oktober 2019, aduan dugaan pelanggaran KEPP yang telah diterima DKPP mencapai 485 aduan. Dari semuanya, 195 aduan dinyatakan Tidak Memenuhi Syarat (TMS) dan 290 aduan Memenuhi Syarat (MS) sehingga berlanjut ke proses persidangan.
Dari semua aduan, lanjut Harjono, pengaduan untuk pemilu legislatif (pileg) sebanyak 352 aduan, pemilu presiden (pilpres) sebanyak 15 aduan, seleksi penyelenggara pemilu sebanyak 44 aduan dan masalah lain (non tahapan pemilu) sebanyak 74 aduan.
“Sampai dengan 15 Oktober, perkara yang diregister di DKPP jumlahnya mencapai 304 perkara. Yang sudah diputus baru 166 perkara. Jadi kira-kira 50 persen belum diputus,” jelas Harjono.
Sebagaimana diketahui, Harjono diundang secara khusus oleh MK untuk memberi keterangan dalam sidang uji materi UU Pemilu terhadap UUD 1945 untuk Perkara Nomor 37/PUU-XVll/2019. Perkara yang dimohonkan oleh Arjuna Pemantau Pemilu, Pena Pemantau Pemilu, Mar’atul Mukminah, dkk., yang mengujikan Pasal 167 ayat (3) dan Pasal 347 ayat (1) UU Pemilu terhadap UUD 1945.
Selain Harjono, hadir Ketua dan Anggota Bawaslu, yaitu Abhan dan Fritz Edward Siregar serta Ketua dan Anggota KPU, Arief Budiman dan Hasyim Asy’ari, yang juga didengar keterangannya dalam sidang perkara ini.
Harjono melanjutkan, Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) memang memberikan wewenang bagi DKPP untuk memberikan sanksi kepada para penyelenggara pemilu yang terbukti melanggar KEPP.
Namun, katanya, sanksi yang diberikan DKPP kepada penyelenggara pemilu secara falsafah sangat berbeda dengan hukum pidana. Mantan Wakil Ketua MK ini pun menyebut beberapa teori dalam hukum pidana berkaitan dengan sanksi, seperti teori pembalasan dan teori pembebanan.
“Kita tidak bersandar di situ, karena tujuannya untuk menjaga trust (masyarakat terhadap lembaga penyelenggara Pemilu, red.), maka sanksi DKPP lebih diutamakan supaya pelanggar kode etik yang menurunkan trust itu kemudian disingkirkan,” terang Harjono.
“Jadi kalau ada pepatah, karena nila setitik rusak susu sebelanga. Ini nila setitiknya kita buang. Bukan untuk menghukum, tapi membersihkan supaya trust tetap terjaga,” pungkasnya. [Humas DKPP]