Garut, DKPP – Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) menerima 83 aduan dugaan pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu (KEPP) selama tahun 2022. Dari jumlah tersebut, 34 di antaranya beralih menjadi perkara pelanggaran KEPP.
Demikian disampaikan Anggota DKPP Ratna Dewa Pettalolo saat menyampaikan Laporan Kinerja DKPP Tahun 2022 dalam kegiatan Evaluasi Kinerja Penegakan Kode Etik Penyelenggara Pemilu Tahun 2022 di Kabupaten Garut, Rabu (7/12/2022).
“30 perkara telah dibacakan putusannya dan masih ada empat perkara yang diproses,” katanya.
Ia menambahkan, 30 perkara yang telah dibaca putusannya oleh DKPP melibatkan 81 Teradu. Data ini per 3 Desember 2022.
Perempuan yang akrab disapa Dewi ini mengungkapkan, 47 Teradu (58,02%) dijatuhi sanksi oleh DKPP. Dewi merinci, 30 Teradu mendapat sanksi Teguran Tertulis, 14 Teradu dijatuhi sanksi Pemberhentian Tetap, 2 Teradu dijatuhi sanksi Pemberhentian Sementara, dan 1 Teradu dijatuhi sanksi Pemberhentian dari Jabatan.
26 Teradu mendapatkan Rehabilitasi karena tidak terbukti melanggar KEPP dan satu Teradu dijatuhi Ketetapan.
Sementara dari aspek kategori prinsip, 32 Teradu dari 47 Teradu yang mendapat sanksi dari DKPP telah melanggar prinsip profesional, 7 Teradu melanggar prinsip tertib, 4 Teradu melanggar prinsip mandiri, dan 2 Teradu melanggar prinsip terbuka. Sedangkan prinsip jujur dan proporsional masing-masing dilanggar oleh 1 Teradu.
“Prinsip profesional menempati posisi tertinggi yang paling banyak dilanggar disusul prinsip tertib dan mandiri,” kata Dewi.
Ia mengungkapkan, terdapat tiga kategori putusan yang dikeluarkan DKPP selama 2022, yaitu putusan terkait nontahapan pemilu, Pemilu 2019, dan Pilkada 2020.
Untuk kategori nontahapan berjumlah 21 putusan (45 Teradu). Sedangkan kategori Pemilu 2019 dan Pilkada 2020 masing-masing berjumlah dua putusan (11 Teradu) dan enam putusan (17 Teradu).
Tiga jenis pelanggaran terbanyak yang dilakukan oleh 45 Teradu yang terlibat dalam pelanggaran kategori nontahapan adalah penyalahgunaan wewenang (11 Teradu), PAW penyelenggaraan pemilu (10 Teradu), dan rekrutmen pegawai (6 Teradu).
“Perkara nontahapan banyak diadukan karena tahun 2022 belum memasuki tahun politik,” kata Dewi.
Ia menambahkan, jumlah Teradu terbanyak yang telah dibacakan putusannya oleh DKPP berasal dari KPU Kabupaten/Kota (47). Urutan selanjutnya adalah Bawaslu Kabupaten/Kota (26), Bawaslu RI (6), dan Bawaslu Provinsi (2).
“Penyelenggara pemilu yang paling banyak diadukan adalah KPU Kabupaten/Kota dan di peringkat kedua adalah jajaran Bawaslu Kabupaten/Kota,” terang Anggota Bawaslu RI periode 2017-2022 ini.
Dewi juga mengatakan, selama satu dasawarsa berdiri (2012-2022), DKPP telah menerima 4.506 aduan dan memutus 1.970 perkara pelanggaran KEPP.
Dari data tersebut, 4.195 Teradu (52,75%) mendapat Rehabilitasi. Jumlah Teradu yang menerima sanksi adalah 2.630 Teradu (33,06%) mendapat Teguran Tertulis, 73 Teradu (0,92%) dijatuhi dijatuhi Pemberhentian Sementara, 695 Teradu (8,74%) dijatuhi Pemberhentian Tetap, dan 75 Teradu (0,94%) dijatuhi Pemberhentian dari Jabatan.
Sisanya, yaitu 286 Teradu mendapat Ketetapan.
“Jumlah penerima sanksi Pemberhentian Tetap sangat kecil. 52,75% Teradu direhabilitasi, ini hal positif bagi kita,” kata.
Aduan Terendah
Dewi mengungkapkan, 83 aduan yang diterima DKPP sepanjang tahun 2022 adalah jumlah terendah sejak DKPP berdiri pada 12 Juni 2012.
Sebelumnya, jumlah aduan terendah terjadi 2012, yaitu 99 aduan. Namun, 99 aduan ini diterima DKPP hanya dalam kurun waktu Juni-Desember 2012.
“Selama satu dasawarsa berdirinya DKPP, tahun 2022 adalah tahun di mana jumlah aduan sangat sedikit,” tuturnya.
Dewi pun menyebut adanya penurunan signifikan jumlah aduan yang diterima DKPP dalam setahun terakhir. Pada tahun lalu, jumlah pengaduan yang diterima DKPP berjumlah 292 aduan.
Ia mengatakan, berdasar analisis DKPP, hal ini terjadi karena tahun 2022 bukanlah periode panas bagi iklim politik Indonesia.
Hal ini tampak dari unsur Pengadu yang menyampaikan pengaduan ke DKPP. Dari 83 aduan yang diterima, 79 aduan disampaikan oleh masyarakat atau pemilih. Selanjutnya, 7 aduan disampaikan oleh penyelenggara pemilu dan 3 aduan disampaikan oleh partai politik.
“Mungkin saja karena belum memasuki tahun politik serta sudah lepas dari Pemilu 2019 dan Pilkada 2020,” kata Dewi.
Situasi ini, jelas Dewi, diprediksi akan berubah pada tahun 2023 hingga 2024 yang menjadi tahun politik. Berdasar pengalaman tahun-tahun sebelumnya, Dewi menyebut adanya tren kenaikan pengaduan yang diterima DKPP saat menjelang dan sesaat setelah pelaksanaan tahapan pemungutan suara.
“Jadi sangat mungkin jumlah pengaduan yang diterima dan jumlah perkara yang disidangkan DKPP akan meningkat tajam pada 2023 dan 2024,” tutup penerima Pengawas Pemilu Terbaik Tingkat Provinsi Sulawesi Tengah pada 2009 ini. [Humas DKPP]