Jakarta, DKPP-Ketua DKPP, Prof Jimly Asshiddiqie menandatangai memorandum of understanding (MoU) dengan Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Jumat
(11/11). Adanya nota kesepahaman ini bertujuan untuk memperkenalkan peradilan
etika kepada akademisi di bidang hukum dan politik terutama di lingkungan
universitas Trisakti. Dalam pertemuan yang dilaksanakan di ruang rapat DKPP, hadir
Dekan Fakultas Hukum Universitas Trisakti yakni Dr. H. I Komang Sukaarsana, SH, MH beserta jajarannya.
Ketua DKPP, yang didampingi oleh Ferry Fathurrahman dan M Saihu
selaku tenaga ahli, Umi Nazifah selaku Kasubbag Publikasi dan Sosialisasi, dan
Hartono selaku Kasubbag Protokoler dan TU, serta Arif Budiman selaku Plt.
Kasubbag Persidangan menyampaikan bahwa kajian terhadap pemilu sangat penting,
karena core business demokrasi adalah
pemilu. Selama ada demokrasi, maka pemilu akan ada terus-menerus. Lebih jauh
dijelaskan bahwa dalam pemilu, fungsi dari penyelenggara sangat penting.
Sebagaimana di dalam konstitusi Ekuador tahun 2008, lanjut Jimly, ada istilah
cabang kekuasaan elektoral (electoral
branch power).
“Selain kekuasaan eksekutif, legislatif, yudikatif ada kekuasaan electoral. Terlepas dari pendapat yang
pro dan kontra, istilah ini sudah ada di dalam konstitusi Ekuador,†tutur Jimly.
Jimly menyakini bahwa gagasan ini berpotensi dapat mempengaruhi
negara-negara lain. Ini dikarenakan, sebanyak 95 persen negara di dunia mengaku
menganut sistem demokrasi. Meskipun dalam praktiknya berbeda-beda. Jimly
menegaskan bahwa tidak ada demokrasi tanpa pemilihan. Sebagai contoh RRC yang
mengaku menganut demokrasi, meskipun hanya memiliki satu partai. RRC juga melakukan
pemilihan di internal partai.
“One day, there is democracy
without election dan setiap ada pemilu ada penyelenggara. Mengapa demikian,
pertama karena eksekutif dan legislatif merupakan peserta. Pengadilan
(yudikatif), mengadili hasil pemilihan. Jadi, penyelenggara itu memang cabang
sendiri. Kedua, di seluruh dunia tidak ada Bawaslu dan DKPP. Satu-satunya di
dunia, hanya ada di Indonesia†tutur Jimly.
Sehingga, Jimly berharap dengan kompleksitas manajemen
penyelenggaraan pemilu yang ada, dapat menjadi kajian tersendiri dari kaum
akademisi di dalam ruang-ruang perkuliahan. Selain itu, Jimly juga menjelaskan
pentingnya etika. Menurut Jimly, etika penting untuk dikembangkan dalam dunia
akademik dan posisinya setara dengan hukum, bukan profesi hukum. Sehingga, ada
norma etika dan norma hukum.
“Semula etika itu bagian dari agama (theological ethics). Kemudian etika
berkembang menjadi objek kajian filsafat (ontological ethics). Ini tahap
perkembangan kedua dari Etika. Selanjutnya, tahap perkembangan ketiga, positivistik,
etikanya ditulis,†jelas Jimly.
“Profesi pertama yang menulis kode etik adalah kedokteran, American Medical Association pada abad
ke-19. Sehingga, etika tidak hanya menjadi kajian ilmiah, di khutbahkan di
masjid, namun juga dipraktikkan dengan ditulis dan menjadi kode etik. Fenomena
ini berkembang hingga akhir abad ke 20, setiap lembaga memiliki kode etik,â€
imbuhnya.
Meskipun demikian, lanjut Jimly, dalam penegakannya masih sebatas
proforma. Sehingga di awal abad ke-21 muncul kebutuhan functional ethics sebagai tahapan ke empat dari perkembangan etika. Melahirkan komite-komite etik dan majelis
kehormatan, namun masih tertutup dalam menegakkan etika. Kemudian, pada tahap
kelima dihadirkan tradisi baru yakni peradilan etika. Dewan Etik KPU (DK KPU)
merupakan lembaga pertama yang menerapkannya, berkembang menjadi DKPP.
“Peradilan etika ranahnya berbeda, dengan peradilan hukum. Melanggar
hukum, sudah pasti melanggar etik. Namun, yang melanggar etik belum tentu
melanggar hukum. Jadi putusan DKPP tidak bisa dinilai peradilan TUN, karena
beda,â€tegasnya.
Lebih jauh Jimly juga menjelaskan tentang sanksi dari peradilan
etika yang berbeda dengan hukum, satu diantaranya yakni teguran yang sifatnya
mendidik. Sanksi ini tidak ada dalam hukum. Adapun tujuannya untuk menjaga
integritas lembaga, berbeda dengan hukum yang tujuannya untuk membalas. (Foto
dan berita: Irmawanti)