Semarang, DKPP – Sejumlah masalah muncul dalam tahapan Pilkada
serentak yang akan digelar di 269 daerah pada 9 Desember 2015 mulai masalah
klasik seputar DPT (daftar Pemilih tetap) hingga masalah terkait pencalonan.
Namun di luar masalah dimensi electoral,
ada sejumlah masalah dimensi non electoral.
Hal ini
diungkapkan Dr. Nur Hidayat Sardini, anggota Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) saat memberikan materi tentang
pilkada serentak pada kegiatan Halqah Islam dan Peradaban yang diselenggarakan
oleh Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) DPD I Jawa Tengah di Hotel Grasia Semarang , Minggu, 22/11.
“Akibat konflik di tubuh
partai politik misalnya, efeknya sampai ke kepengurusan
di tingkat wilayah dan daerah berujung konflik. Lalu soal calon ganda, calon yang diusung satu faksi di satu sisi tapi tidak diusung faksi di
sisi yang lain, pemecatan kepengurusan di tingkat wilayah dan/atau daerah,
pergantian calon di
tengah jalan, keterlambatan atau kelewat waktu dari masa pengajuan pendaftaran, serta konflik segitiga antara
KPU dan Panwaslu setempat,†kata Sardini.
Menurut dosen
Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Diponegoro ini, akibat konflik yang terjadi di internal
PPP dan Partai Golkar misalnya menimbulkan persoalan seperti kurang atau tidak
lengkapnya pemenuhan dokumen yang menjadi salah satu syarat dalam pencalonan, berupa surat/keterangan/rekomendasi
dari instansi lain, seperti dari Diknas, Depag, lembaga pendidikan, IDI,
pengadilan tata niaga, Kum-Ham, dan lain-lain. Masalah lain seperti kurangnya batas minimum
syarat dukungan pada calon perseorangan, persyaratan status mantan narapidana
yakni apakah bebas bersyarat atau bebas dari menjalani hukuman penuh. Keterangan pihak Lapas atau surat
edaran Kementerian Hukum dan Ham. Mekanisme dalam proses dan
hasil-hasil penyelesaian sengketa ternyata memanjangkan jalur karena banyaknya
lembaga yang menangani permasalahan tersebut.
Sardini juga
mengungkapkan masalah
dalam
masa kampanye seperti penyalahgunaan jabatan atau wewenang, format baku penanganan
alat peraga kampanye, penggunaan fasilitas publik, mobilisasi massa, mobilisasi
kebijakan, laporan dana kampanye, dan perbedaan penafsiran antarlembaga negara
serta netralitas aparatur sipil negara. Konflik antardaerah akibat pemekaran
daerah yang belum selesai, tahapan daftar pemilih tetap, rebutan pemilih atau saling
klaim dalam selubung status kependudukan di antara dua kawasan yang berbeda, isu-isu
ketidakadilan pembangunan, atau perlakuan pemerintahan pusat terhadap
masyarakat daerah, sehingga momentum pemilukada
digunakan sebagai instrumen tuntutan, aspirasi, ancaman dan/atau perlawanan
separatism, dan karakter segregasi dari struktur sosial dan/atau dimensi
kultural, hingga mengemuka dan mengambil momentum dalam pemilukada.
“Masalah-masalah tersebut lebih merupakan urusan diluar
dimensi non electoral. Juga masalah lain seperti problematika responsivitas terkait representasi
gagasan di satu sisi dan representasi berdasarkan personalitas,†ujar pria yang
akrab disapa NHS ini.
Menjawab
pertanyaan sejumlah peserta terkait karut marut pemilukada serentak? Bagaimana
formasi atau konstelasi politik di daerah-daerah pasca pemilukada serentak? Dan
siapa pemenang umum pemilukada serentak tersebut? Jawab Sardini, “ Yang akan memenangkan pemilukada adalah orang yang
memiliki elektabilitas yang tinggi, mempunyai tingkat popularity, likeability, dan electability,
serta orang yang kuat, bermodal besar, dan bosisme!†(Rahman Yasin/dw).