Semarang,
DKPP – Ketua Dewan Kehormatan
Penyelenggara Pemilu (DKPP) Prof Jimly Asshiddiqie mengusulkan tidak hanya
demokrasi yang berintegritas melainkan demokrasi berkebudayaan. Demokrasi
integritas itu hanya bersifat personal sedangkan demokrasi berkebudayaan
bersifat kolektif.
Usul
tersebut disampaikan usai memberikan kuliah umum yang diselenggarakan oleh
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro, di Gedung Prof Sudarto SH,
Semarang, Jumat (4/9). Peserta kegiatan ini adalah mahasiswa baru sebanyak 625
peserta.
Jimly
menerangkan, untuk mencapai demokrasi berkebudayaan, harus dimulai dari diri
sendiri. Misalnya, kegiatan belajar mengajar di kampus tidak hanya sebagai
tempat transfer pengetahuan melainkan membangun karakter. Bila kampus hanya sebagai
pusat pengetahuan, sudah ketinggalan zaman. Seiring dengan perkembangan
teknologi, pengetahuan bisa didapatkan dari mana saja, tidak bergantung
terhadap guru atau dosen.
“Kita bisa
membaca di Samsung. Kita bisa membaca teori-teori yang paling update di
Google. Jikalau dosen dan guru sebagai sumber pengetahuan, maka niscaya dosen
dan guru itu sudah tidak diperlukan lagi di zaman sekarang,†jelas dia.
Tugas Guru
dan dosen adalah sebagai pembangun karakter.
Menurutnya, karakter sangat menentukan hidup suatu bangsa. Dalam konteks
bernegara, karakter harus ada. Negara
tidak hanya mengurusi ekonomi, politik, pertahanan dan keamanan, akan tetapi
harus membangun karakter. “Karakter itulah yang membentuk hukum kita, yang
membentuk ekonomi kita. Karakter itulah yang membentuk kebudayaan,†jelas dia.
Inti semua
persoalan hidup bersama adalah kebudayaan. Kebudayaan adalah modal maju atau
mundurnya suatu peradaban. Untuk itu, konsepsi kebudayaan bisa juga diterapkan
dalam demokrasi. Misalnya, dalam
pelaksanaan pemilu tidak hanya Pemilu yang berintegritas melainkan pemilu yang
berkebudayaan. Integritas berkenaan dengan karakter individu-individu.
Integritas kolekfitf adalah kebudayaan.
“Jawa Tengah
ini merupakan daerah yang paling minim pengaduan ke DKPP. Saya mengusulkan tema
Pemilu di Jawa Tengah adalah Pemilu Berbudaya. Bagaimana praktisnya,
misalkan dalam pelaksanaan kampanye,
para calon tidak lagi melakukan kampanye hitam atau kampanye negatif terhadap
calon lain. Para calon focus hanya mempromosikan dirinya sendiri. Dengan begitu.
Dengan begitu, demokrasi kita demorkasi yang berkebudayan. Jateng bisa menjadi rule
model dan menjadi barometer untuk kemajuan berdemokrasi di negara kita,â€
katanya. [Teten Jamaludin]