Jakarta, DKPP – Dewan
Kehormatan Penyelenggara Pemilu merehabilitasi nama baik Elisabeth Kansai selaku
anggota Panwaslu Kabupaten Kepulauan Yapen. DKPP juga memerintahkan
Bawaslu Provinsi Papua membatalkan Surat Keputusan Bawaslu Provinsi Papua Nomor
01-KEP Tahun 2016 tentang Pemberhentian Sementara kepadanya, dan
memberi penggantian atas hak-hak yang terhilang.
Hal tersebut disampaikan dalam sidang kode etik penyelenggara Pemilu dengan
agenda pembacaan Putusan pada Senin (13/2) pukul 14.00 WIB. Selaku ketua
majelis Jimly Asshiddiqie, anggota majelis Valina Singka Subekti,
Anna Erliyana, Ida Budhiati, Saut H Sirait.
Putusan dibacakan oleh Valina Singka Subekti. Selaku Pengadu, Fegie Y. Wattimena, Yacob Pasei,
Anugrah Pata, masing-masing selaku ketua dan Anggota Bawaslu
Provinsi Papua. Teradu, Elisabeth Kansai, anggota Panwaslu Kabupaten Kepulauan Yapen.
Pengadu menilai Teradu tidak maksimal melaksanakan tugas dan wewenang
pengawasan dalam pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kepulauan Yapen. Teradu
jarang masuk kantor dan beberapa kali tidak menghadiri Rapat Pleno Panwaslu
Kabupaten Kepulauan Yapen. Hal tersebut terjadi karena Teradu sering
mendapatkan penganiayaan dan kekerasan fisik dari suami Teradu hingga beberapa
kali dirawat di rumah sakit.
Sebagai atasan langsung Teradu, para Pengadu melakukan penelusuran dan
klarifikasi kepada Ketua dan Anggota beserta Staf Sekretariat Panwaslu
Kabupaten Kepulauan Yapen. Termasuk melakukan klarifikasi dan pembinaan
langsung kepada Teradu dengan meminta kesediaan Teradu untuk membuat Surat
Pernyataan akan bekerja secara maksimal dalam melaksanakan tugas dan fungsi
pengawasan dalam Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kepulauan Yapen Tahun 2017.
Pembinaan langsung disertai dengan surat pernyataan kesediaan bekerja maksimal
dalam melaksanakan tugas dan wewenang sebagai panwaslu, tidak mengubah keadaan
Teradu. Atas dasar itu, melalui Rapat Pleno, Para Pengadu memutuskan
memberhentikan sementara terhadap Teradu dalam jabatannnya selaku Anggota
Panwaslu Kabupaten Kepulauan Yapen.
Namun dalam pertimbangan Putusan, DKPP berpendapat, dalil Pengadu mengambil
tindakan pemberhentian sementara, tidak dapat dibuktikan dari sisi kepatutan
dan kelayakan. Pengadu sebagai atasan langsung Teradu seharusnya melakukan
perlindungan terhadap bawahan yang menjadi korban penganiayaan dan melakukan
perlawanan hukum terhadap pelaku kejahatan.
“Tindakan pembiaran terhadap pelaku kejahatan dan mengeluarkan hukuman
terhadap korban kejahatan, justru merupakan suatu bentuk sikap yang tidak hanya
mentolerir tindakan kejahatan, tetapi malah menjadi pembuka ruang bagi
permisifisme atas kejahatan di tengah-tengah masyarakat,†kata Valina.
Lanjut dia, Teradu terbukti tidak melakukan pelanggaran kode
etik. Teradu adalah korban di luar kehendak dan kemampuannya untuk melawan dan
mengatasi tindak kekerasan yang terjadi pada dirinya. Terganggunya kinerja
merupakan kondisi yang tidak tertolak akibat tindak kejahatan yang dilakukan
pihak lain terhadap korban. Namun tindakan pemberhentian sementara merupakan
jalan yang paling mudah(easy going) untuk mengatasi persoalan pada
permukaan kulit semata, tetapi sama sekali tidak menyelesaikan dan menghabisi
akar-akar kejahatan itu sendiri.
Sikap demikian merupakan produk dari mentalitas ‘menerabas’ yang hanya
melihat persoalan tidak secara mendalam dan menyeluruh, terutama dari
perspektif substansi kebenaran yang utuh dan prinsip kemanusiaan yang
menyeluruh. “Tindakan pemberhentiaan sementara itu bukan hanya perlu untuk dicabut,
tetapi harus dinyatakan batal berdasarkan prinsip dan nilai-nilai etika
kemanusiaan yang universal,†tutup Valina. [Teten Jamaludin]