Jayapura, DKPP – Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) menggelar sidang pemeriksaan dugaan pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu (KEPP) untuk Perkara Nomor 311-PKE-DKPP/X/2019 di Kantor Bawaslu Provinsi Papua, Jayapura, Rabu (11/12/2019), pukul 13.30 WIB.
Perkara ini diadukan oleh Ketua dan dua Anggota Bawaslu Kabupaten Kepulauan Yapen, yaitu Fredy Agus Ayomi, Leonard S. Ruamba dan Sam Sainal Manderi.
Ketiganya mengadukan 12 penyelenggara Pemilu yang terdiri atas lima penyelenggara dari KPU Kabupaten Kep. Yapen dan tujuh penyelenggara dari KPU Provinsi Papua.
Lima penyelenggara dari KPU Kabupaten Kep. Yapen adalah John F. Waimuri, Yusuf Ruamba, Elvrida Worembai, Yeditya Wayoi dan Yacob Semboari. Secara berurutan, kelimanya berstatus sebagai Teradu I hingga Teradu V.
Kecuali Yeditya dan Yacob, para Teradu adalah Anggota KPU Kabupaten Kep. Yapen. Sedangkan Yeditya dan Yacob masing-masing menjabat sebagai Operator Situng serta Kasubbag Program dan Data KPU Kabupaten Kep. Yapen.
Sedangkan tujuh Teradu dari KPU Provinsi Papua adalah Ketua dan enam Anggotanya, yaitu Theodorus Kosay, Fransiskus Antonius Letsoin, Zufri Abubakar, Zandra Mambrasar, Diana Dorthea Simbiak, Melkianus Kambu dan Adam Arisoy. Secara berurutan, para Teradu tersebut berstatus sebagai Teradu VI hingga Teradu XII.
Teradu I hingga Teradu V diadukan karena diduga telah melaksanakan Rapat Pleno Penetapan Perolehan Kursi Anggota DKPRD Kabupaten Kepulauan Yapen yang tidak sesuai dengan prosedur dan peraturan perundang-undangan yang berlaku karena diadakan tanpa mengundang Bawaslu Kabupaten Puncak dan saksi dari partai politik. Pleno ini diadakan pada 14 Agustus 2019, pukul 19.00 WIT.
Fredy mengaku, ia mendapat informasi tentang pleno tersebut oleh seorang polisi dari Polres Jayapura. Kemudian, ia pun memberitahukannya kepada Leonard (Pengadu II) dan Sam Sainal (Pengadu III), serta bergegas menuju lokasi pleno.
Sesampainya di lokasi pleno, ia mendapati petugas kepolisian sedang menghadang para saksi dari parpol yang hendak memasuki pleno. Ia pun berupaya berbicara dengan petugas tersebut agar mengizinkan para saksi yang mendapat mandat dari partai politik dapat memasuki ruang pleno.
“Kami hanya melaksanakan perintah dari dalam,” kata Fredy menirukan ucapan petugas itu.
Karena petugas itu tetap bersikeras melarang saksi, Fredy bersama Leonard dan Sam Sainal pun memasuki ruang pleno. Di dalam ruang pleno, katanya, hanya diisi oleh 25 orang saja, termasuk Ketua dan Anggota KPU Kabupaten Kepulauan Yapen dan Kapolres Kabupaten Kepulauan Yapen.
“Ketika kami masuk, pleno sudah selesai dan akan dibacakan Berita Acara pleno,” ungkapnya.
Mendapati kondisi demikian, ia bersama Leonard dan Sam Sailani pun memutuskan untuk keluar ruang sidang. Ketiganya langsung mencoba untuk berkoordinasi dengan pihak Bawaslu Provinsi Papua tentang hal ini.
Menurutnya, pelaksanaan pleno tersebut sudah melanggar ketentuan PKPU No. 5 Tahun 2019. Padahal, KPU Kabupaten Kepulauan Yapen belum melaksanakan instruksi dari KPU RI agar segera melaksanakan empat putusan administrasi Bawaslu RI.
Sementara itu, ketujuh Teradu dari KPU Provinsi Papua diadukannya karena diduga tidak melakukan supervisi kepada KPU Kabupaten Kepulauan Yapen dan tidak berkoordinasi dengan Bawaslu Kabupaten Kepulauan Yapen sebagaimana diperintahkan putusan KPU RI tersebut.
Putusan KPU RI yang dimaksud adalah Surat KPU RI Nomor 1057/PL.01.9-SD/03/KPU/VII/2019. Sedangkan empat Putusan Bawaslu RI bernomor 53/K/ADM/BWSL/PEMILU/VI/2019; 54/K/ADM/BWSL/PEMILU/VI/2019; 57/K/ADM/BWSL/PEMILU/VI/2019; dan 58/K/ADM/BWSL/PEMILU/VI/2019.
Dalam sidang, Anggota KPU Kabupaten Kepulauan Yapen yang berstatus sebagai Teradu I, Yusuf Ruamba mengaku tidak tahu menahu alasan di balik pelaksanaan pleno tersebut. Menurutnya, pleno tersebut diadakan atas prakarsa mantan Ketua KPU Kabupaten Kepulauan Yapen, Moris Cerulo Muabuni.
Yusuf mengungkapkan, dirinya memang sempat mendapat instruksi dari Moris untuk menyiapkan pelaksanaan pleno ini. Saat ini, ungkap Yusuf, dirinya sempat menanyakan dasar dari pelaksanaan pleno tersebut kepada Moris.
“Kamu cukup menyiapkan saja pleno itu, soal dasar pleno itu urusan saya. Sebagai Anggota KPU Kabupaten Kepulauan Yapen kamu harus taat azas,” kata Yusuf menirukan jawaban Moris.
Namun, Yusuf tidak membantah ketika majelis bertanya apa dirinya tidak berusaha mencegah langkah Moris untuk mengadakan pleno tanpa mengundang Bawaslu dan saksi parpol.
Untuk diketahui, Moris sudah tidak lagi menjadi Ketua KPU Kabupaten Kepulauan Yapen karena mendapat sanksi berupa pemberhentian tetap dari DKPP pada 11 September 2019. Bersama Anggota KPU Kabupaten Kepulauan Yapen, Awal Rahmadi, ia diberhentikan tetap karena dinilai melakukan pelanggaran KEPP jenis berat.
Anggota KPU Kabupaten Kepulauan Yapen lainnya, Evrida Worembi, yang menjadi Teradu III dalam perkara ini mengungkapkan bahwa dirinya bersama Yusuf dan John F. Walmuri (Teradu I) sering tidak diikutsertakan dalam pembuatan kebijakan di KPU Kabupaten Kepulauan Yapen oleh Moris dan Awal.
“Kami, tiga komisioner baru seakan dikucilkan oleh Pak Moris dan Pak Awal,” ucapnya.
Sementara itu, Anggota KPU Provinsi Papua, Zandra Mambrasar (Teradu IX) mengaku sudah sesering mungkin berkoordinasi dengan pihak KPU Kabupaten Kepulauan Yapen sejak Surat KPU RI Nomor 1057/PL.01.9-SD/03/KPU/VII/2019 diterbitkan.
Zandra yang membawahi Divisi Hukum ini menerangkan, selama ini KPU Kabupaten Kepulauan Yapen memang termasuk yang paling sukar untuk berkoordinasi.
Anggota KPU Provinsi Papua lainnya, Zuhri Abubakar (Teradu VIII) pun mengaku kerap menelepon Moris terkait Surat KPU RI Nomor 1057/PL.01.9-SD/03/KPU/VII/2019. Menurutnya, ia sudah menginstruksikan Moris agar taat pada aturan dan ketentuan yang berlaku.
Sidang ini sendiri dipimpin oleh Anggota DKPP, Dr. Alfitra Salamm selaku Ketua majelis bersama tiga Anggota majelis, yaitu Prof. Muhammad (Anggota DKPP), Feggie Yoani Wattimena (TPD unsur Masyarakat) dan Metusalak Infandi (TPD unsur Bawaslu). [Humas DKPP]