Jakarta, DKPP- Provinsi Aceh pada 2017
dijadwalkan akan menyelenggarakan Pemilukada Gubernur dan Wakil Gubernur. Akan
tetapi, dua kabupaten yakni Nagan Raya dan Aceh Timur, saat ini penyelenggara
Pemilunya sedang mengalami masalah. Atas masalah tersebut, Bawaslu Aceh berkunjung
ke DKPP untuk audiensi.
Hadir
dalam audiensi Ketua Bawaslu Aceh Zuraida Alwi, dua Anggota Asqalani dan
Muklir, serta jajaran sekretariat. Mereka ditemui oleh Ketua DKPP Prof Jimly
Asshiddiqie dan Anggota DKPP (ex officio)
Bawaslu Endang Wihdatiningtyas serta dua Tenaga Ahli DKPP Firdaus dan Ferry Fathurokhman.
“Tujuan
kami audiensi ke DKPP selain berkonsultasi juga berharap agar memperoleh solusi
yang tepat atas permasalahan persiapan Pemilukada di Aceh,†ujar Zuraida.
Masalah
yang dimaksud Bawaslu Aceh berawal dari terbitnya dua putusan Mahkamah Agung
(MA), yakni putusan Nomor 46/K/PTUN/2015 tanggal 30 Maret 2015 Perkara Kasasi
TUN tentang Pengangkatan Anggota KIP Aceh Timur dan Nomor 61/K/PTUN/2015
tanggal 19 Maret 2015 Perkara Kasasi TUN tentang Pengangkatan Anggota KIP Nagan
Raya. Dua putusan MA tersebut membatalkan dua surat keputusan (SK) pengangkatan
Anggota Komisi Independen Pemilihan (KIP) Kabupaten Nagan Raya dan Aceh Timur
yang telah ditetapkan oleh KPU RI.
“Selain
itu, MA memerintahkan untuk mengusulkan ulang anggota KIP Aceh Timur dan Nagan
Raya kepada KPU RI,†jelas Zuraida.
Putusan
MA itu sendiri merupakan rangkaian dari gugatan hukum yang dilakukan oleh para
pihak akibat proses seleksi KIP di Nagan Raya dan Aceh Timur untuk periode 2013-2018.
Untuk diketahui, Provinsi Aceh memang memiliki kekhususan dalam proses seleksi
penyelenggara Pemilunya, termasuk dalam seleksi anggota KIP. Di Aceh, seleksi
KIP Provinsi dan Kabupaten didasarkan pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006
tentang Pemerintahan Aceh dan Qanun Aceh Nomor 7 Tahun 2007 tentang
Penyelenggara Pemilu di Aceh.
Dua
aturan khusus tersebut memberi kewenangan kepada DPR Aceh dan DPR Kabupaten/Kota
untuk menentukan Anggota KIP terpilih, setelah melalui proses seleksi, untuk
diusulkan kepada KPU RI. Kemudian KPU RI menetapkan anggota-anggota yang
diusulkan oleh DPRA dan DPRK. Untuk Nagan Raya dan Aceh Timur, terang Zuraida,
semua tahapan seleksi telah dijalankan oleh Tim Independen yang dibentuk DPRK.
Dari hasil seleksi, sebanyak 15 orang diajukan ke DPRK untuk dilakukan fit and proper test, sampai terpilih 5
orang sesuai urutan hasil tes.
“Yang
menjadi masalah, dalam proses penentuan lima orang itulah menurut kami alurnya
tidak sesuai dengan aturan hukum. Melalui rapat paripurna DPRK di Nagan Raya
dan Aceh Timur, lima orang calon anggota KIP yang diusulkan oleh dua DPRK
tersebut ternyata tidak semuanya adalah orang-orang yang telah ikut seleksi. Di
Nagan Raya ada tiga orang dan di Aceh Timur empat orang yang tidak ikut seleksi
tapi dipilih oleh DPRK,†beber Zuraida.
Mereka
yang tidak terpilih kemudian menggugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Pada pengadilan tingkat pertama mereka menang yang kemudian juga diperkuat oleh
pengadilan tingkat kedua. Dengan kemenangan para penggugat itu, KPU RI mengajukan banding ke MA, tetapi
hasilnya kalah. “Kami sudah bersurat ke DPR dan KPU RI, tapi sampai hari ini
belum mendapat jawaban,†ungkap Zuraida.
Di
sisi lain, Anggota Bawaslu Aceh Asqalani melihat masalah ini sangat krusial.
Kalau tidak segera diselesaikan dapat berpotensi terjadi kerawanan dan
mengganggu keabsahan Pemilukada di Aceh. Apalagi, tahapan Pemilukada Aceh akan
mulai April 2016. Sedangkan Anggota Bawaslu RI Endang Wihdatingtyas menilai
masalah ini sepenuhnya menjadi ranah KPU. Tetapi dia mengapresiasi inisiatif
Bawaslu Aceh untuk berkonsultasi ke DKPP.
“Sebagai
pengawas, kami harus melakukan deteksi dini terhadap potensi masalah,†tutur
Endang.
Sementara
itu, Ketua DKPP Prof Jimly Asshiddiqie melihat akar masalah seperti yang
terjadi di Nagan Raya dan Aceh Timur tidak lepas dari aturan hukum yang ada.
Kebiasaan para pembuat undang-undang, menurut Prof Jimly, berpikirnya selalu
umum tanpa melihat adanya kekhususan di suatu daerah. Sumber hukum di Aceh,
termasuk soal penyelenggaraan Pemilu, seharusnya dibedakan dengan daerah lain
karena status Aceh memang beda.
“Maka
saya berpendapat, harusnya Peraturan KPU Aceh dan Peraturan Bawaslu Aceh
bersifat khusus. Harus ada ijtihad dari KPU dan Bawaslu dalam hal ini. Saya
kira bukan hanya untuk Aceh, ini berlaku juga untuk Papua, DKI Jakarta, dan DI
Yogyakarta. Semua peraturan harus dievaluasi secara menyeluruh,†jelas Prof
Jimly.
Terhadap
putusan MA, Guru Besar Hukum Tata Negara UI tersebut, menyatakan bahwa putusan
MA adalah putusan pengadilan tertinggi yang harus dijalankan. Siapa pun warga
negara Indonesia wajib tunduk pada putusan pengadilan. Pengadilan itu sifatnya
nasional, tidak mengenal desentralisasi.
“Laksanakan
saja putusan MA. Tidak ada diskusi lagi, tidak ada interpretasi. Semua kalah
dengan putusan MA, termasuk KPU. Kalau tidak, KPU bisa dilaporkan ke DKPP,â€
tegasnya. (Arif Syarwani)