Jakarta, DKPP – Politik uang atau money politic menjadi potensi pelanggaran paling besar dalam perhelatan Pilkada Serentak Tahun 2020 yang digelar di 270 kabupaten, kota, dan provinsi di Indonesia.
Anggota Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), Dr. Alfitra Salamm, APU mengatakan kesulitan ekonomi akibat pandemi Covid-19 menjadi celah masuknya money politic. Selain itu, diperkuat budaya masyarakat yang menganggap lumrah politik uang di saat pilkada atau pemilu berlangsung.
Hal itu disampaikan Alfitra dalam Focus Group Discusion (FGD) dengan tema Profesionalisme Penyelenggaraan Dalam Pilkada Serentak 2020 Guna Mewujudkan Pilkada yang Aman, Sehat, dan Damai di Hotel Diraja, Jakarta Selatan.
“Potensi pelanggaran yang paling marak adalah terkait money politic. Ini menjadi faktor kemenangan dalam suatu daerah sebab hampir sebagian pemilih di Indonesia suka dengan uang,” ungkap Alfitra Salamm pada Rabu (25/11/2020).
Selama tahapan kampanye berlangsung, jauh dari keramaian dan kumpulan massa. Pilkada Serentak Tahun 2020 bisa dikatakan pesta demokrasi minimalis karena keharusan menerapkan protokol kesehatan.
“Saat ini terjadi yang Namanya demokrasi minimalis, selama tahapan kampanye tidak ada arak-arakan besar, kandidat sedikit mengeluarkan uang, tetapi sebenarnya masyarakat membutuhkan uang,” lanjut mantan peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) ini.
Alfitra menambahkan potensi pelanggaran yang dilakukan penyelenggara pemilu selama ini tidak mengenal batas baik itu pendidikan, jabatan, umur, maupun lainnya. Potensi pelanggaran tersebut mengintai setiap saat menunggu penyelenggara lengah.
“Potensi pelanggaran tidak melihat latar belakang pendidikan, lama bekerja, ataupun berdasarkan raut wajah. Begitu juga dengan lama bekerja tidak menentukan kuatnya integritas seseorang,” pungkas Alfitra Salamm. (Humas DKPP)