Jakarta, DKPP- Ketua KPU Kabupaten Tolikara,
Papua, Hosea Genongga untuk kesekian kalinya lolos dari sanksi etis berat
berupa pemberhentian tetap yang dijatuhkan oleh DKPP. Hari ini, Rabu (7/9),
DKPP telah menyatakan dia tidak terbukti melanggar kode etik Penyelenggara
Pemilu seperti yang dituduhkan oleh Pengadu bernama Marnus Kogoya, seorang PNS
di Tolikara. Pernyataan DKPP tersebut disampaikan dalam sidang pembacaan
putusan di ruang sidang DKPP, Jakarta.
“Menolak pokok pengaduan Pengadu untuk seluruhnya.
Merehabilitasi Teradu atas nama Hosea Genongga selaku Ketua merangkap Anggota KPU Kabupaten Tolikara,â€
demikian kutipan amar putusan DKPP dibacakan Anggota Majelis Dr. Nur Hidayat
Sardini.
Putusan
bernomor 102/DKPP-PKE-V/2016 ini merupakan putusan rehabilitasi yang ketiga
kalinya diperoleh Hosea dari total sepuluh putusan atas perkaranya. Dua putusan
sebelumnya yang juga merehabilitasi Teradu Hosea adalah putusan Nomor
12/DKPP-PKE-III/2014 dan putusan Nomor 71/DKPP-PKE-V/2016. Sisanya atau tujuh
putusan lainnya menyebut bahwa Hosea terbukti melanggar kode etik. Akan tetapi
pelanggarannya tidak masuk kategori berat, sehingga dia hanya mendapat sanksi
peringatan keras, bukan pemberhentian tetap.
Perkara
kali ini terkait persiapan Pemilukada 2017 di
Tolikara. Pokok pengaduan seperti diungkap Pengadu dalam sidang pada Juli lalu,
intinya menganggap Ketua KPU Tolikara terindikasi tidak independen, karena
aktif mengikuti sosialisasi pencalonan Bupati Tolikara Usman Wanimbo untuk maju
di Pemilukada 2017. Ada tiga peristiwa yang menurut Pengadu Marnus dapat
menguatkan dugaannya. Pertama, Teradu dianggap aktif mendamping bupati saat
acara sosialisasi di Distrik Nabunage pada 3 Februari 2016. Kedua, ikut dalam
sosialisasi di Distrik Anawi pada 28 Februari 2016. Ketiga, ikut mendampingi
bupati dalam rakor DPD Partai Demokrat Provinsi Papua pada 4 Mei 2016.
“Aktifnya
Ketua KPU Tolikara ini karena masih ada hubungan keluarga dengan bupati,†sebut
Marnus waktu itu.
Teradu
Hosea waktu itu tidak menyangkal adanya peristiwa-peristiwa yang diungkap
Pengadu. Tapi dia menyangkal soal maksud dan tujuan acara itu. Acara di Distrik
Nabunage, menurutnya merupakan acara rekonsiliasi pascaperang suku di sana. Bukan
sosialisasi. Kebetulan dia dan bupati satu kampung dan menjadi tokoh masyarakat
di sana.
“Acara
itu murni acara sosial, karena kami merasa punya tanggung jawab sebagai putra
daerah situ,†terang Hosea.
Acara
di Distrik Anawi juga bukan sosialisasi tetapi acara syukuran atas pemekaran
distrik baru. Dia diundang oleh kepala distrik/camat setempat. Kejadiannya,
kata Hosea bukan 28 Februari tetapi 3 Februari. Bukan hanya bupati yang
diundang, seluruh muspida juga hadir untuk syukuran pelantikan camat baru. Kemudian
terkait tuduhan ikut rapat DPD Demokrat, Hosea kembali membantah dia sengaja
hadir di situ. Meskipun dalam sidang sempat ditunjukkan fotonya berdampingan
dengan bupati, menurutnya acara tersebut bukan acara resmi Demokrat, tetapi
hanya acara rekreasi. Di acara tersebut dia juga hanya sebentar. Dia mengaku
datang pukul 15.00 semata-mata untuk kepentingan penandatanganan NPHD (Naskah Perjanjian Hibah Daerah) karena Tolikara terlambat.
“Di
acara tersebut kami foto bersama wakil bupati juga, tapi foto wakil bupati di
sini dipotong oleh Pengadu,†ungkapnya.
Meskipun Hosea mendapat rehabilitasi, namun DKPP tetap
mengingatkan agar dia memperbaiki
dan menata perilaku hubungannya dengan berbagai pihak yang berkepentingan dalam
penyelenggaraan Pilkada Tahun 2017 dengan selalu berpedoman pada kode etik Penyelenggara Pemilu. Dari data DKPP, Hosea memang termasuk Penyelenggara
Pemilu yang paling sering diadukan. Bersama perkara ini, dia sudah 18 kali
diadukan. Dari 18 pengaduan tersebut, sebanyak 14 perkaranya masuk sidang.
Artinya, Hosea sudah 14 kali menjalani sidang di DKPP. Majelis sidang perkara ini
diketuai oleh Prof. Jimly Asshiddiqie dengan anggota Dr. Nur Hidayat Sardini,
Dr. Valina Singka Subekti, Prof. Anna Erliyana, Saut Hamonangan Sirait, Ida Budhiati,
dan Endang Wihdatiningtyas. (Arif Syarwani)