Jakarta, DKPP – Anggota Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Ratna Dewi Pettalolo mengenalkan dan menjelaskan tentang 13 prinsip kode etik penyelenggara pemilu (KEPP) kepada Panitia Pengawasan Kecamatan (Panwascam) se-Kabupaten Cilacap, Senin (21/11/2022).
Hal ini ia lakukan saat menjadi narasumber dalam webinar bertema “Potensi Pelanggaran Kode Etik Pada Pemilu Pararel 2024” yang diadakan oleh Bawaslu Kabupaten Cilacap.
Perempuan yang karib disapa Dewi ini mengatakan, berdasar Peraturan DKPP Nomor 2 Tahun 2017 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Penyelenggara Pemilu, KEPP terbagi dalam dua aspek, yaitu aspek integritas dan profesionalitas.
Dalam aspek integritas, kata Dewi, terdapat prinsip asas. Pertama adalah asas jujur.
Dewi menerangkan, prinsip jujur dimaknai penyelenggara pemilu harus didasari pada niat untuk semata-mata terselenggaranya pemilu sesuai dengan ketentuan yang berlaku tanpa adanya kepentingan pribadi, kelompok, atau golongan.
“Jadi mari kita luruskan niat semata-mata untuk mewujudkan pemilu yang berintegritas serta pemilu yang jujur dan adil,” kata perempuan kelahiran Palu, Sulawesi Tengah ini.
Kedua adalah prinsip mandiri. Mandiri dalam penyelenggaraan pemilu, kata Dewi, adalah penyelenggara pemilu bebas atau menolak campur tangan dan pengaruh siapapun yang mempunyai kepentingan atas perbuatan, tindakan, keputusan atau putusan yang diambil.
Prinsip ketiga adalah adil. Dalam prinsip ini, penyelenggara pemilu menempatkan segala sesuatu sesuai hak dan kewajibannya. “Jadi harus dimaknai tindakan pelayanan yang seadil-adilnya, ini sangat fundamental,” jelas Dewi.
Prinsip terakhir dalam aspek integritas adalah akuntabel yang dimaknai seluruh tugas, wewenang, dan kewajiban yang dilaksanakan penyelenggara pemilu harus dilakukan dengan penuh tanggung jawab dan hasilnya pun dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
“Akuntabel ini sangat berkaitan dengan keterbukaan,” katanya.
Sementara dalam aspek profesionalitas, terdapat sembilan prinsip yang harus dipenuhi oleh penyelenggara pemilu, yaitu berkepastian hukum, tertib, aksesibilitas, terbuka, proporsional, profesional, efektif, efisien, dan kepentingan umum.
Dewi berharap semua peserta webinar mempedomani 13 prinsip kode etik agar diadukan ke DKPP ke depannya. “Hukum berlayar di samudera etika. Jadi etika itu lebih luas dari hukum,” katanya.
Dalam kesempatan ini, Dewi juga menjelaskan tentang varian sanksi yang dijatuhkan oleh DKPP kepada para penyelenggara pemilu yang terbukti melanggar kode etik penyelenggara pemilu.
Secara garis besar, sanksi DKPP adalah teguran tertulis, pemberhentian sementara, dan pemberhentian tetap. Namun, dari tiga kategori sanksi ini dikembangkan sehingga memiliki beberapa varian.
Pada kategori teguran tertulis terdapat tiga varian sanksi, yaitu Peringatan, Peringatan Keras, dan Peringatan Keras Terakhir.
Sedangkan sanksi Pemberhentian Sementara disebut Dewi bersifat kondisional. Penerima sanksi ini memiliki dua opsi, yaitu dapat diaktifkan kembali sebagai penyelenggara pemilu atau justru mendapat sanksi yang lebih berat, yaitu Pemberhentian Tetap.
Dewi mencontohkan, ada seorang penyelenggara pemilu yang diketahui juga masih bekerja dalam profesi lain. Setelah disidang, ia dijatuhi sanksi pemberhentian sementara oleh DKPP.
Setelah dijatuhi sanksi Pemberhentian Sementara, lanjut Dewi, ia harus memilih satu dari dua profesi yang dijalaninya. Orang itu bisa mengundurkan diri sebagai penyelenggara pemilu dan memilih profesi lain yang ia jalani, sehingga nantinya akan dijatuhi Pemberhentian Tetap.
“Atau memilih profesi penyelenggara pemilu dan mengundurkan diri dari profesinya yang lain, lalu aktif kembali menjadi penyelenggara pemilu,” jelas Dewi.
Pada sanksi pemberhentian tetap sebagai sanksi terakhir terdapat tiga varian, yaitu Pemberhentian dari Jabatan Ketua, Pemberhentian dari Jabatan Koordinator Divisi, dan Pemberhentian sebagai Anggota.
“Tentunya sanksi Pemberhentian Tetap sebagai Anggota ini adalah sanksi yang tidak diinginkan oleh kita semua,” pungkasnya. [Humas DKPP]