Jakarta, DKPP – Juru Bicara Dewan Kehormatan
Penyelenggara Pemilu (DKPP), Dr. Nur Hidayat Sardini menjelaskan problematika
yang kerap terjadi dalam pelaksanaan Pemilu. Pertama, terdapatnya
tumpang tindih atau setidak-tidaknya
multitafsir, antara satu ketentuan dan ketentuan lainnya. Kedua, terlalu
rumitnya sistem penyelenggaraan Pemilu. Ketiga, daftar pemilih masih
selalu jadi masalah atau dimasalahkan.
“Kejadian
masalah daftar pemilih ini selalu berulang-ulang,†katanya dalam rapat membahas
Progres Revisi Undang-Undang Pemilu sebagai tindak lanjut dari Putusan Mahkamah
Konstitusi tentang Penyelenggaraan Pemilu Serentak tahun 2019 di Kemenpolhukam,
Jakarta, Rabu (17/2). Hadir dalam rapat itu, masing-masing perwakilan dari unsur
Bawaslu RI, KPU RI, Kemendagri, Kemenkumham, dan Kemenpolhukam.
Keempat,
walaupun daftar pemilih selalu jadi masalah atau
dimasalahkan, namun tidak sekalipun instrumen-instrumen penegakan hukum pernah
memutuskan hukuman kepada pihak-pihak yang bertanggung jawab. Kelima, terlalu banyaknya lembaga yang
menangani permasalahan-permasalahan kepemiluan.
“Kita
rapikan saja. Saya kira tidak perlu lagi perlu menambah lembaga baru. Bawaslu DKPP dan KPU sudah cukup tinggal dioptimalkan.
Bila pun ada kekurangan, kita tambahi, atau kelebihan kita kurangi. Kalau kita
bikin baru, cape, dan apalagi minta eselon
satu. Kasihan beban anggaran negara terlalu besar. Bila perlu ada yang
dibubarkan untuk bagian-bagian tertentu,†katanya.
Keenam,
belum tercapainya optimalisasi peran dan fungsi lembaga pengawas Pemilu, walau
di sejumlah hal menyangkut mekanisme penyelesaian sengketa administrasi Pemilu
sudah terlihat terutama dalam Pemilukada tahun 2015 lewat. Ketujuh, suatu kenyataan meningkatnya
pertanyaan-pertanyaan mengenai isu kemandirian, integritas, dan kredibilitas
penyelenggara Pemilu. “Walau hal ini tidak mewakili seluruh buramnya para
penyelenggara/petugas Pemilu kita,†ucap dia.
Delapan,suatu
kenyataan bahwa partisipasi masyarakat/pemilih setelah Pemilu menjadi
penyeimbang bagi penyelenggara negara hasil Pemilu (“elected officialsâ€),
kecuali tibanya musim-musim kampanye dan pada “Hari H†Pemilu (voting day).
Sembilan, keterlibatan
masyarakat dalam proses-proses elektoral masih tampak: di satu sisi sekadar
hadir di TPS pada Hari H Pemilu, di sisi lain selebihnya sekadar pasivitas
politik saat kampanye atau Hari H tersebut. Sepuluh,
partai politik begitu nyata hadir di setiap/menjelang saat Pemilu, namun kosong
di sisa waktu usai hingga Pemilu kembali. “Kerja Parpol kaya gendang awal sama
akhir, di tengah-tengahnya kosong. Padahal Undang-undang No. 2 tentang Parpol mewajibkan untuk melakukan
pendidikan politik,†katanya.
Sebelas,
terutama terlihat di sejumlah provinsi yang memiliki karakteristik lokal
tersendiri di Indonesia, permasalahan non-Pemilu (non-elektoral) menindih
dengan sangat kuat terhadap elektoral—sehingga merupakan beban tersendiri bagi
Pemilu dan penyelenggara Pemilu kita. Dua belas, tidak efektifnya
penegakan hukum tindak pidana Pemilu, dengan rupa-rupa sebab-musababnya baik
faktor teknik maupun faktor non-teknik.
Tiga
belas, isu-isu krusial seperti politik uang, dana kampanye, abuse of
power, mobilisasi ASN—untuk menyebut beberapa di antaranya—masih merupakan
ancaman terhadap “integritas Pemiluâ€. Empat belas,
sejumlah Putusan DKPP
diajukan melalui mekanisme banding hingga ke Kasasi MA, menjurus ketidakpastian
hukum.
Lima
belas, menjadi kebutuhan tersendiri apabila para staf/pejabat di sekretariat lembaga penyelenggara Pemilu merupakan tenaga
sekretariat jenderal KPU dan Sekretariat Jenderal Bawaslu dalam konteks “instansi vertikalâ€. Enam puluh,
suatu kenyataan masih terdapatnya konflik di tubuh lembaga penyelenggara Pemilu
baik bersifat latensi ataupun aktual, karena pernah disidang di DKPP. Terakhir,
dengan merujuk pengalaman di lapangan Pemilu selama ini, berkembang keinginan
untuk mengatur tidak saja kepada penyelenggara Pemilu, namun pengaturan dan
mekanisme penegakannya terhadap para peserta Pemilu dalam wujud code of
conduct. [Teten Jamaludin]