Batu,
DKPP – Ketua DKPP Prof. Jimly Asshiddiqie, pada kesempatan Sosialisasi Tahapan
Penyelenggaraan Pilwali Kota Batu 2017, yang diselenggarakan di Hotel Horizon
Amarta Hills, Kota Batu (3/6), menyatakan bahwa kinerja Penyelenggara Pemilu
semakin bagus dari pemilu ke pemilu berikutnya.
“Pemilu
Luber dan Jurdil resmi dicantumkan Pasal 22E UUD 1945 atau yang kita kenal
dengan Pemilu yang berintegritas ialah Pemilu yang mengikuti prosedur the rule
of law dan the rule of ethic. Oleh karena itu, Penyelenggara Pemilu diikat oleh
kode etik,†ujarnya.
Menurut
Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia ini, bahwa inti dari pemilu
ialah kompetisi atau perebutan
kekuasaan. Dalam dinamika perebutan kekuasaan itu, ancaman terbesarnya ialah harta,
tahta, dan seksualita. Hampir semua peserta pemilu yang gagal, akan melaporkan
kasusnya kemana-mana.
“Penyelenggara
Pemilu sangat rawan dijadikan sasaran tembak kekecewaan dalam perebutan jabatan,â€
katanya.
Menurutnya,
agar dipahami juga karena sebagian besar laporan yang dikirim ke DKPP, kami
dismissal atau TMS. Jumlah kasusnya hingga 15.000 lebih. Hal ini menggambarkan
bahwa kinerja Penyelenggara Pemilu masih harus akan terus menerus diperbaiki. Namun,
Penyelenggara Pemilu hanya salah satu saja.
“Jika
mau berbenah diri, yang perlu di kode etik-kan tidak hanya Penyelenggara Pemilu,
tapi juga peserta Pemilu. Karena terkadang yang menjadi sumber masalah ialah
peserta pemilu yang lebih aktif, lebih agresif, dan kasak kusuk,†ucapnya.
Kesimpulannya,
lanjut Jimly, kita tidak bisa menyelenggarakan pemilu berintegritas jika hanya Penyelenggara
Pemilunya yang kenakan sanksi kode etik. Para peserta/ paslon juga harus kenakan
sanksi kode etik
“Di
masa depan nanti, kita harus berpikir tentang Dewan Kehormatan Penyelenggaraan
Pemilu. Bukan Hanya Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu,†tegasnya.
Menurutnya,
para peserta/ paslon
juga harus diikat oleh the rule of law
and the rule of ethics. Masing-masing paslon tidak usah mengurusi paslon
yang lain, tidak usah saling jegal-menjegal . masing-masing paslon harus berlomba-lomba
merebut simpati rakyat pemilih. Itu yang jadi utama. Sebagai paslon mungkin didorong
keadaan oleh orang-orang di sekitarnya untuk melakukan negatif campaign, bahkan black
campaign. Hal ini termasuk soal integritas para peserta.
“Harapannya,
paslon tidak usah ngurusi urusan paslon lain. Paslon lain biarkan diurus oleh
KPU dan Bawaslu. Kalau Bawaslu tidak bekerja, biarkan masyarakat melaporkan
kepada DKPP, jika memang jajarannya tidak bekerja secara professional,†tegas
Jimly.
Ini,
lanjutnya, hanya sebagai gambaran bagaimana paslon juga harus diikat oleh kode
etik. Yang tidak harus ditulis, tapi soal kepantasan, dan lain sebagainya . Sedangkan
untuk Penyelenggara Pemilu, harus dipastikan bahwa semua kode etik yang sudah
terpatri, sudah diatur dengan jelas dalam UU, dan juga sudah diatur dalam Peraturan
Bersama KPU dan Bawaslu harus dilaksanakan, misalnya soal independensi dan
imparsialitas. Karena, Penyelenggara Pemilu sangat menentukan lahirnya apakah penyelengaraan
pemilu berintegritas atau tidak.
“Jika
Penyelenggara Pemilu terlibat berpihak kepada salah satu paslon, apalagi
menerima suap, maka pejabat yang akan dipilih nanti, bukan pejabat yang
berintegritas, karena dihasilkan dari sebuah proses pemilu yang tidak
berintegritas. Kalau dalam lima tahun dipimpin oleh pemimpin yang tidak
berintegritas, nanti bagaimana nasib bangsa?†tutupnya. [Nur Khotimah]