Jakarta, DKPP- Penyelenggaraan pemilihan umum
kepala daerah (Pemilukada) 2015 menyisakan banyak catatan, di antaranya adalah
soal pengaturannya. Pengaturan Pemilukada 2015, yang regulasi utamanya adalah
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 dinilai memiliki banyak kelemahan yang dapat
menghambat proses pelaksanaan Pemilukada. Bersama KPU, Bawaslu, masyarakat
pegiat Pemilu, dan media massa pada Rabu (10/2) DKPP menggelar diskusi untuk
mengurai hal-hal itu.
Diskusi diadakan di kantor DKPP, Jakarta. Dua Anggota DKPP
Nur Hidayat Sardini dan Saut Hamonangan Sirait bersama Ketua Bawaslu Prof Muhamad,
Anggota KPU Juri Ardiantoro, dan pegiat Pemilu Said Salahuddin menjadi
narasumber dalam diskusi yang dipandu oleh Tenaga Ahli DKPP Firdaus.
“Diskusi ini sebagai tindak lanjut dari rapat dengar
pendapat (RDP) dengan Komisi II DPR. KPU, Bawaslu, dan DKPP diminta untuk
memberikan masukan atas usaha perbaikan Pemilu, khususnya terkait rencana
revisi undang-undang Pemilukada. Yang paling dekat adalah untuk menghadapi
Pemilukada 2017,†ungkap Nur Hidayat Sardini.
Menurut NHS, sapaan akrab Nur Hidayat Sardini, banyak hal
yang harus dievaluasi dari Pemilukada 2015 kemarin. Semua hal itu, seperti
telah tertuang dalam UU Pemilukada yang ada sekarang. Dia menyebut di antara
problem Pemilukada adalah soal sistem Pemilunya, soal apakah Pemilukada masuk
rezim lokal atau nasional, soal tarik ulur penganggaran apakah memakai APBN
atau APBD, juga soal terlalu banyaknya lembaga yang menangani pelanggaran
ataupun sengketanya.
“Saya kira terlalu banyak tangan yang ikut campur dalam
Pemilukada kita ini. Kerangka penindakan oleh pengawas, kepolisian, dan
kejaksaan juga belum efektif. Ini yang kemudian menghambat proses electoral justice system kita,†terang
Ketua Bawaslu periode 2008-2011 itu.
Juri Ardiantoro pun menilai, soal pengaturan Pemilukada
menjadi hal paling krusial. Idealnya, menurut dia, pengaturan Pemilukada harus
mempertimbangkan kecukupan waktu. Tidak bisa regulasi dibuat terlalu mepet
dengan tahapan karena kalau terlalu mepet dapat dipastikan Pemilu akan
menghadapi banyak persoalan. Penyelenggara sering kali dihadapkan pada
pengaturan yang tidak pasti.
“Contohnya, dalam satu sesi Pemilu begitu kuat dorongan
untuk mengubah undang-undangnya. Akibatnya, tahap persiapan yang seharusnya
sudah berjalan mesti menunggu pengaturan yang sedang direvisi. Dalam beberapa
kasus, hal ini dapat menimbulkan ketegangan. Sebaiknya pengaturan itu disiapkan
dalam waktu yang cukup,†jelas mantan Ketua KPU DKI Jakarta ini.
Ketua Bawaslu Prof Muhamad sangat setuju ada penyempurnaan
terhadap regulasi Pemilukada. Dia ingin mendorong agar Bawaslu menjadi lembaga
yang kuat dalam menindak pelanggaran hukum Pemilu. Proses penegakan hukum
melalui Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakumdu), menurutnya, tidak efektif.
Dia mengusulkan, penegakan hukum Pemilu dengan kepolisian dan kejaksaan
sifatnya kerja sama saja.
“Bisa seperti model di KPK di mana penyidiknya dipisahkan
dari institusinya. Untuk sanksi pidana sebaiknya diselesaikan oleh pihak
kepolisian. Bawaslu tidak usah ikut. Bawaslu menangani sengketa administrasi
tahapan sampai selesai. Sedangkan sengketa hasil tetap di MK,†tegasnya. (Arif
Syarwani)