Manado, DKPP – Undang-Undang No 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan umum
telah yang telah disahkan oleh Pemerintah sejak
18 Agustus 2017 lalu. Ada lima isu krusial dalam undang-undang ini.
Lima isu itu yakni terkait sistem pemilu, ambang batas pencalonan presiden (presidential
threshold), ambang batas parlemen (parliamentary treshold), metode konversi
suara, dan alokasi kursi per dapil.
Sistem
pemilu proporsional terbuka merupakan sistem yang cenderung membebaskan pemilih
untuk memilih calon yang diinginkannya. Calon yang mendapatkan suara terbanyak
dari pemilihlah yang akan menjadi anggota legislatif. Sistem ini dianggap lebih
demokratis dengan tingkat partisipasi masyarakat lebih tinggi, pemilih bisa memilih langsung wakilnya. Sistem
ini diusulkan oleh pengamat pemilu.
Presidential
threshold merupakan isu yang paling menimbulkan perdebatan di antara lima isu
krusial lainnya. Presidential threshold akhirnya diputuskan sebesar 20-25
persen, yakni 20 persen suara kursi di DPR atau 25 persen suara sah nasional.
Ketentuan ini sebenarnya sudah diberlakukan pada Pemilu 2009 dan 2014 lalu.
Masalahnya pada tahun tersebut penyelenggaraan Pileg dan Pilpres tidak digelar
secara serentak , sedangkan Pemilu 2019 mendatang, Pileg dan Pilpres akan
dilaksanakan serentak.
Sebagai
gambaran, pada Pilpres 2014, pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla yang diusung oleh
PDI-P memperoleh 18,95 persen suara, PKB 9,04 persen suara, Nasdem 6,72 persen
suara, Hanura 5,26 persen suara, dan PKPI 0,91 persen suara. Maka, jika
digabungkan, suara lima partai tersebut melebihi 25 persen. Dengan demikian
gabungan atau koalisi partai-partai tersebut dapat mengajukan calon dan calon
wakil presiden.
Sementara,
jika dihitung berdasarkan perolehan kursi parlemen, gabungan kursi empat partai
dikurangi PKPI yang tak lolos ke DPR jumlahnya adalah 208 kursi. Jumlah
tersebut cukup untuk mencalonkan pasangan capres dan cawapres karena mininum
kursi yang harus diperoleh untuk mencalonkan adalah 112 kursi. Jika sesuai dengan hasil
yang diputuskan DPR, maka yang digunakan adalah hasil Pileg 2014. Dengan demikian, cara perhitungan
tak akan jauh berbeda. Persoalannya sejumlah kalangan menilai hasil Pemilu 2014
sudah tak bisa digunakan untuk Pilpres 2019.
Parliamentary
treshold yang disahkan adalah sebesar 4 persen, artinya, naik 0,5 persen dari
Pemilu 2014. Berdasarkan ini partai yang perolehan suaranya tak mencapai 4
persen pada Pileg tak akan lolos sebagai anggota DPR RI, DPRD Provinsi maupun
DPRD Kabupaten/Kota.
Pada
rapat paripurna, Kamis (20/7/2017) malam setelah melalui pembahasan yang cukup
rumit, metode Sainte Lague murni akhirnya diketok palu DPR. Metode
ini baru diterapkan di Indonesia. Pada pemilu-pemilu sebelumnya, metode yang
digunakan adalah metode bilangan pembagi pemilih (BPP). Metode BPP adalah
menentukan jumlah kursi dengan mencari suara per kursi terlebih dahulu.
Caranya, membagi total suara sah dengan total kursi yang ada di suatu daerah
pemilihan (dapil).
Metode
ini cenderung menguntungkan partai menengah dan kecil. Sebab, peluang mereka
mendapatkan kursi sisa lebih terbuka. Sebaliknya, partai besar akan cenderung
dirugikan. Metode Sainte Lague murni oleh sebagian pihak dinilai lebih adil.
Partai dengan perolehan suara besar akan mendapatkan lebih banyak kursi,
sedangkan partai dengan perolehan suara kecil tentu akan mendapatkan kursi yang
lebih sedikit pula.
Poin
alokasi kursi per dapil sama seperti Pemilu sebelumnya, yakni 3-10. Artinya,
jumlah minimum kursi dalam sebuah dapil adalah 3 kursi, sedangkan jumlah kursi
maksimumnya adalah 10 kursi.
Selain
kelima isu krusial tersebut, hal menarik
lain dalam undang-undang adalah terkait lembaga penyelenggara pemilu,
Bawaslu dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu. Semua hal yang telah
diuraikan di atas tentunya dapat menimbulkan dampak dalam kaitannya dengan
dinamika politik baik di tingkat nasional maupun lokal.
Hal
inilah yang mendasari Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI) cabang Manado
menyelenggarakan seminar nasional dengan tema “ UU Pemilu 2017 dan Prospek
Politik Lokal†pada Jumat, 15/9/2017. Seminar nasional ini bertempat di Hotel
Sintesa Peninsula. Hadir sebagai narasumber adalah Ketua KPU, Arif Budiman,
Anggota DKPP RI Dr. Alfitra Salamm dan akademisi UI, Dr. Isbodroini Suyanto.
Bertindak selaku moderator adalah Dr.
Ferry Daud Liando. Seminar dibuka langsung oleh Gubernur Sulut, Olly
Dondokambey didampingi Wagub, Stephen Kandauw dan Asisten 1 John Palandung. Turut hadir dalam acara, mantan Gubernur Prov. Sulut yang saat ini menjabat sebagai duta besar Indonesia untuk Philipina, Sinyo Harry Sarundajang [Diah
Widyawati_2]