Jakarta, DKPP – Pada tahun 2014 akan dihadapkan dengan Pemilu kolosal. Tempat Pemungutan Suara lebih dari 573 ribu. Petugas panitia pemungutan suara jumlahnya sangat banyak. Jumlah pemilih juga meningkat. Dari Sabang sampai Merauke masyarakat memilih anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota.
Demikian disampaikan Dr Valina Singka Subekti, anggota Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) dalam Focus Group Discussion (FGD) dengan tema Meningkatkan Partisipasi Publik dalam Pesta Demokrasi Melalui Pendidikan Politik, di Gedung Nakula Lt.6 Kementerian Politik, Hukum dan HAM, Jalan Merdeka Barat, Kamis (23/5). Hadir dalam kesempatan tersebut, peneliti LIPI Prof Dr R Siti Zuhro MA, peneliti senior CSIS Dr J Kristiadi MA, Direktur Seni dan Budaya Ditjen Kesbangpol Kemendagri Budi Prasetio.
“Tantangan dalam Pemilu yang diselenggarakan secara kolosal ini, bagaimana menghasilkan hasil Pemilu yang ideal,” ujar dia.
Ia berpendapat bahwa penyelenggara Pemilu dalam hal ini Komisi Pemilihan Umum harus bertindak profesional dan tidak memihak. Hal tersebut sekaligus amanat dari UUD 1945 Pasal 22 huruf e. Intinya bahwa Pemilu harus diselenggarakan oleh komisi pemilihan umum yang mandiri. “Komisi Penyelenggara Pemilu yang mandiri tidak boleh berpihak kepada pihak manapun,” kata mantan anggota tim seleksi KPU Bawaslu ini.
Berkaca Pemilu tahun 1999, sambung dia, di mana lembaga penyelenggara Pemilunya adalah berasal dari anggota partai politik peserta Pemilu. Dampaknya adalah, partai-partai yang memperoleh hasil suara kecil pada waktu, tidak mau menandatangani hasil Pemilu. Sehingga Presiden BJ Habibielah yang mengambil alih penandatanganan hasil Pemilu 1999. “Begitulah assbabun nuzul UU 1945 pasal 22 huruf e itu,” kata dia.
Kini, terbit UU No. 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu, sebagai revisi dari undang-undang Penyelenggara Pemilu sebelumnya. Lembaga penyelengga Pemilu menurut UU tersebut ada tiga, yaitu Komisi Pemilihan Umum, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). “Pada Pasal 2 dan Pasal 3 ayat 2 UU No.15, penyelenggara Pemilu harus bebas dari pengaruh ketika menjalankan kewenangannya,” jelas dia.
Begitu pentingnya kebutuhan untuk menciptakan lembaga penyelenggara Pemilu yang kuat dan profesional serta netral, Pasal 11 No.15 tahun 2011 mencantumkan beberapa syarat bagi para calon anggota KPU, KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota. Syarat-syarat itu; harus mempunyai integritas, pribadi yang kuat dan jujur , adil, mengundurkan diri dari keanggotaan partai politik, jabatan politik, jabatan di pemerintahan atau di BUMN/BUMD, bersedia bekerja penuh waktu, bersedia tidak menduduk jabatan politik, jabatan di pemerintah dan tidak berada dalam satu ikatan perkawinan dengan sesama penyelenggara Pemilu. “Dengan syarat yang jelas, maka anggota KPU juga akan menghadapi sanksi tegas bila mana melanggar prinsip imparsialitas dan profesionalitas,” ujar dia.
Dia menerangkan bahwa pemberhentian tidak hormat apabila melanggar sumpah janji, melakukan perbuatan yang menghambat KPU dalam mengambil keputusan dan penetapan sebagaimana ketentuan peraturan perundang-undangan. UU No. 15 tahun 2011, telah dibentuk lembaga permanen penegakan kode etik yaitu Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu. “DKPP dibentuk untuk menjaga kemandirian, integritas dan kredibilitas penyelenggara Pemilu (KPU dan Bawaslu) beserta jajarannya sampai di tingkat daerah,” jelas dia.
DKPP juga diberikan kewenangan untuk memberikan sanksi seperti yang tertera dalam Pasal 17 ayat 2 berupa teguran tertulis, pemberhentian sementara atau pemberhentian tetap. Hingga Mei 2013, DKPP setidaknya telah memecat 69 anggota KPU di daerah. Jumlah tersebut merupakan 60 persen laporan pengaduan yang terbukti melakukan pelanggaran dan setengah di antaranya hanya pelanggaran ringan dan diberi sanksi teguran. “DKPP melihat keberpihakan atau tidak netral penyelenggara Pemilu kepada salah satu calon tertentu adalah pelanggaran serius. Sedangkan 30 persen lainnya tidak terbukti atau direhabilitasi,” jelas dosen Ilmu Politik Universitas Indonesia itu.
Sementara itu, Direktur Lingkar Mandani Indonesia (Lima) Ray Rangkuti menyoroti terhadap rendahnya partisipasi Pemilu. Ada kencederungan penurunan jumlah partisipasi pemilih dari waktu ke waktu sejak reformasi ini bergulir. Ia menerangkan bahwa penurunan tersebut, sebagai kekesalan dari pemilih karena merasa kecewa atas prilaku-prilaku politik yang sudah duduk di parlemen. “ Jadi pemilih yang tidak memilih di TPS (tempat pemungutan suara, red) itu bukan karena mereka tidak sadar akan partisipasi politik. Ketidakhadiran mereka ke TPS sebagai bentuk perlawanan,” jelas dia. (TTM)