Jakarta, DKKP – Kode
etik penyelenggara pemilu selain tertuang dalam Undang-undang No.7 Tahun 2017
tentang Pemilihan Umum, juga tertuang dalam Peraturan DKPP. Hal ini disampaikan
oleh Anggota DKPP Alfitra Salamm saat menjadi salah satu pemateri  dalam kegiatan Orientasi Tugas Anggota KPU
Kabupaten/Kota periode 2018-2023 Gelombang V yang diselenggarakan oleh KPU RI
di Binakresna Auditorium Bidakara, pada Rabu (14/11).Â
Dalam kesempatan
ini, Alfitra menyampaikan beberapa hal terkait kode etik penyelenggara pemilu
dan pedoman beracara, kategori pelanggaran etik beserta jenis-jenis sanksi, dan
tren Putusan DKPP. Peserta dalam kegiatan ini terdiri dari anggota KPU Kab/Kota dari
Provinsi Sumatera Barat (Kab. Pesisir Selatan, Kota Pariaman, Kota Padang
Panjang), Provinsi Sumatera Utara (Kab. Pakpak Bharat, Kab. Samosir, Kab. Nias
Barat, Kota Sibolga, Kota Tebing Tinggi, Kota Tanjung Balai, Kota Gunung Sitoli),
Provinsi Banten (Kota Cilegon), Provinsi DI. Yogyakarta (Kab. Bantul, Kab.
Gunung Kidul, Kab. Kulon Progo, Kab. Sleman, Kota Yogyakarta), Provinsi Jawa
Tengah (Kab. Demak, Kab. Pati, Kab. Semarang, Kab. Kendal, Kab. Grobogan, Kab.
Banyumas, Kota Semarang, Kota Slatiga), Provinsi Bali (Kab. Bangli, Kab.
Jembrana, Kab. Tabanan), dan Provinsi Kalimantan Tengah (Kab. Katingan, Kab.
Barito Selatan, Kab. Kotawaringin Barat).
Mengawali uraiannya
Alfitra menyampaikan bahwa lahirnya DKPP, sebagai lembaga peradilan etik,
bertujuan untuk menjaga kepercayaan publik terhadap penyelenggara pemilu serta menjaga
kehormatan penyelenggara pemilu.
“DKPP juga sebagai kanalisasi
bagi pihak-pihak yang tidak puas, yaitu para pencari keadilan atas pelanggaran kode
etik penyelenggara pemilu,†tutur Alfitra.
DKPP, lanjut dia, menilai
perilaku pribadi para penyelenggara, bukan institusi. Oleh karena itu, jika ada
pengaduan dari masyarakat maka yang akan menjadi teradu adalah orang per orang/pribadi
penyelenggara.
“Oleh karena
menyangkut pribadi inilah, maka Anda bertanggung jawab penuh atas segala
ucapan, postingan, tindak-tanduk, dan perilaku Anda. Self sensor musti
diperkuat sebab kalimat kasar yang Anda lontarkan bisa diadukan,†tutur dia.
Masih menurut
Alfitra, berdasarkan data yang diolah DKPP sepanjang tahun 2018 ini, sejumlah
460 pengaduan diterima, dengan jumlah 279 perkara disidangkan. Di antara laporan/aduan yang diterima adalah
sesama penyelenggara yang saling mengadukan, bahkan dari internal penyelenggara
itu sendiri yang melaporkan. Hal ini mestinya dapat diantisipasi dengan
meningkatkan kesolidan sesama atau internal penyelenggara, meningkatkan koordinasi
dan jiwa leadership, sehingga tidak perlu sampai disidang oleh DKPP.
Beberapa tips yang
kemudian disampaikan Alfitra agar tidak sampai disidang oleh DKPP adalah:
mengikuti aturan undang-undang, PKPU, Perbawaslu, dan PerDKPP. Dapat dimaklumi
jika suatu ketika lupa, namun harus dilakukan peningkatan profesionalitas.
Slogan KPU Melayani tidak hanya sekedar slogan, namun harus benar-benar
diimplementasikan dengan meningkatkan pelayanan yang prima kepada semua pihak. Beberapa kasus jajaran KPU yang disidangkan
karena tidak membalas surat, dianggap tidak professional. Meskipun dapat
dipahami komisioner sangat sibuk, tetapi jangan sekali kali mengabaikan
pelayanan, menjawab surat harus secara resmi, tepat waktu, menggunakan bahasa
komunikasi yang baik dengan pemilahan kata yang tepat. Kemudian, menahan diri
untuk tidak memposting terkait pemilu di media sosial, misalnya postingan tentang
elektabilitas calon dan sebagainya.[Nur Khotimah]