Jakarta, DKPP – Sanksi yang dijatuhkan oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) tidak dimaksudkan untuk memberi efek jera kepada penyelenggara pemilu yang terbukti melanggar kode etik penyelenggara pemilu (KEPP).
Demikian disampaikan Anggota DKPP, Ratna Dewi Pettalolo, dalam kegiatan Rapat Koordinasi Sentra Gakkumdu tingkat Kabupaten Gowa yang diadakan Bawaslu Kabupaten Gowa, Rabu (30/11/2022).
“Tapi untuk memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap proses penyelenggaraan pemilu,” katanya.
Menurut perempuan yang akrab disapa Dewi ini, sanksi yang dijatuhkan DKPP akan membuktikan bahwa lingkungan penyelenggara pemilu di Indonesia berisi orang-orang yang profesional, mandiri, dan berintegritas, sehingga masyarakat tidak akan meragukan hasil dan proses pelaksanaan tahapan pemilu.
Selain itu, tambahnya, mekanisme penanganan dugaan pelanggaran kode etik oleh DKPP juga dimaksudkan untuk menghindarkan penyelesaian di luar jalur hukum atau main hakim sendiri.
“Jadi penyelesaian ini tidak dilakukan di jalan, melakukan pemukulan kepada penyelenggara atau merusak fasilitas dan logistik pemilu, tapi dilakukan oleh DKPP sehingga kemandirian, kredibilitas, dan profesionalitas penyelenggara dapat terjaga,” jelas Dewi.
Dalam kesempatan ini, Dewi juga mengingatkan tentang pentingnya penegakan hukum pemilu. Proses penegakan hukum pemilu yang kerap diadukan masyarakat atau peserta pemilu kepada DKPP.
Meskipun terdapat tiga unsur dalam Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Sentra Gakkumdu), yaitu Bawaslu, kepolisian, dan kejaksaan, jajaran Bawaslu kerap dianggap satu-satunya pihak yang bertanggung jawab dalam penegakan hukum pemilu, khususnya oleh para pihak yang merasa dirugikan oleh keputusan Sentra Gakkumdu.
Dewi pun mengimbau agar jajaran Bawaslu berkonsolidasi dengan pihak kepolisian dan kejaksaan, dalam rangka memperkuat penanganan penegakan hukum pemilu.
“Tiga institusi ini jadi satu kesatuan hukum penting dalam penegakan hukum pemilu,” ungkapnya.
Anggota Bawaslu RI periode 2017-2022 ini menerangkan, pada periode 2017-2022 Bawaslu kerap melakukan rapat koordinasi dengan pihak kepolisian dan kejaksaan sebagai media konsolidasi penangangan hukum pemilu. Hal ini dilakukan untuk menyamakan persepsi tentang penegakan hukum pemilu.
Konsolidasi ini juga menjadi sangat penting karena tidak sedikit kasus di mana jajaran Bawaslu sebagai pesakitan dan diadukan ke DKPP akibat dari keputusan Sentra Gakkumdu. Padahal keputusan
adanya unsur pidana atau tidak dalam Sentra Gakkumdu merupakan keputusan kolektif antara Bawaslu, kepolisian, dan kejaksaan.
“Pendapat dalam proses penanganan juga harus didokumentasikan, karena tidak tertutup kemungkinan ada perbedaan pendapat (di antara Bawaslu, kepolisian, dan kejaksaan, red.). Dokumentasi ini akan menjadi hal penting bagi teman-teman ketika diproses di DKPP,” ungkap Dewi.
Ia mencatat, terdapat beberapa perbedaan antara Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu (UU Pemilu) dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 (UU Pilkada).
Salah satu perbedaan adalah jumlah perbuatan pidana yang diatur. Dalam UU Pemilu, terdapat 77 perbuatan yang dikategorikan sebagai tindak pidana pemilu, tetapi dalam UU Pilkada hanya 68 perbuatan yang dikategorikan tindak pidana pemilu.
Perbedaan lain adalah tentang konsepsi sanksi pidana. Dalam UU Pemilu hanya diatur sanksi pidana maksimum, tanpa diatur standar minimum sanksi pidana. Sedangkan dalam UU Pilkada diatur sanksi pidana minimum dan maksimum.
Perbedaan selanjutnya adalah mahar politik. Dewi menerangkan, dalam UU Pemilu memang diatur larangan mahar politik. Namun, regulasi ini tidak mengatur ancaman pidana atau sanksi yang diberikan kepada pelaku mahar politik.
Sementara, UU Pilkada mengatur adanya larangan mahar politik dan juga ancaman pidananya. Namun Dewi berpendapat, dalam praktiknya norma tersebut sulit dibuktikan dalam penegakan hukum.
“Hal-hal di atas harus teman-teman koordinasikan dengan kepolisian dan kejaksaan,” tutupnya. [Humas DKPP]