Semarang, DKPP – Pemilihan kepala daerah (pilkada) adalah sarana demokrasi untuk mengganti sirkulasi pimpinan secara periodik dan bermartabat. Artinya ada aturannya, namun disayangkan karena meskipun aturan ini berjalan, belum ditemukan pijakannya. Seseorang yang ingin menjadi kepala daerah hanya berpikir bagaimana cara untuk menang. Hal ini didukung dengan sistem demokrasi yang mengalami pergeseran. Jika dulu demokrasi perwakilan, sekarang One Man One Vote.
Hal ini disampaikan oleh Anggota DKPP, Prof. Teguh Prasetyo dalam acara Ngetren Media [ Ngobrol Etika Penyelenggara Pemilu Dengan Media ] di Kota Semarang, Provinsi Jawa Tengah, Jumat (4/12/2020) siang.
Sebagai informasi, Provinsi Jawa Tengah akan menyelenggarakan pilkada di 21 kabupaten kota atau terbanyak kedua setelah Provinsi Sumatera Utara dengan 23 daerah. Dari 21 daerah tersebut, terkonfirmasi enam daerah dengan calon tunggal, 5 daerah yang calonnya terdiri dari tiga pasangan, dan sepuluh daerah akan menggelar pilkada secara ‘head to head’ atau berhadap-hadapan langsung (dua pasangan calon_red).
“Sejak merdeka rakyat Indonesia diberi ruang untuk berpartisipasi dalam penyelenggaraan negara. Mereka diberi ruang untuk mencalonkan diri sebagai presiden atau jabatan publik lainnya, untuk membuat visi misi, memilih siapa pimpinannya. Founding father kita pada saat itu sudah sangat luar biasa kenegarawanannya,” Prof. Teguh mengawali pengantarnya.
Menurut Prof. Teguh, pemilu atau pilkada dalam konteks ini adalah pilihan untuk penggantian pimpinan nasional atau pimpinan daerah secara bermartabat. Lanjutnya, Indonesia punya keunikan dibanding negara lain. Indonesia sejak dulu kala sudah ada peradaban. Peradaban itu sudah mempunyai wisdom, nilai-nilai yang terus-menerus dijalankan. Dan, setelah ratusan tahun dalam society yang dinamakan bangsa Indonesia ada perbedaan, tetapi satu yang menyatukan.
“Indonesia ini bhineka tapi Ika, plural tapi eka. Hal ini terbukti saat mereka dan mengikrarkan satu, nusa, satu bangsa, satu tanah air. Indonesia terdiri atas berbagai golongan etnis, budaya, agama adat istiadat tapi ada yang mengikat. Pancasila adalah kekuatan yang menyatukan dan memelihara NKRI sampai sekarang, dan ini yang harus kita pelihara,” kata Prof. Teguh.
Dalam konteks pilkada artinya boleh berkontestasi tapi harus berpijak pada kesepakatan yang mempersatukan dan jangan menggoyang nilai-nilai Pancasila. Kontestasi dilakukan dengan tetap berpijak pada nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, permusyawaratan, dan keadilan.
“Tuhan memang luar biasa, dengan pluralitas beda itu indah jangan dipertentangkan. Keanekaragaman yang harus dipelihara,” lanjutnya.
Kondisi kontestasi baik itu pemilu atau pilkada harus diberi pijakan. Pijakan inilah yang dinamakan filsafat tanpa pijakan filsafat maka akan ada diombang-ambingkan oleh angin. Kontestasi harus berpijak pada filsafat, karena filsafat adalah fondasi untuk tumbuh berkembangnya nilai-nilai kejujuran yang dijaga dalam etika.
Penyelenggara pemilu yang diutamakan adalah ‘trust’ atau kepercayaan. Jika penyelenggara pemilu hancur kepercayaannya, maka lembaga independen yang dibentuk pasca reformasi ini tidak ada maknanya.
“Jadi penyelenggara pemilu harus menjaga trust. Nilai tanpa berpijak pada filsafat jika ditiup angin, digoda sedikit akan larut. Sebagai penyelenggara fokus pada kemandirian dan kejujuran,” jelasnya.
Penulis 43 buah buku ini meminta media sebagai social engineering untuk menyuarakan bahwa pilkada tidak cukup berintegritas tapi bermartabat. Bermartabat artinya memberikan nilai pada kejujuran, keadilan, nilai Pancasila. Martabat adalah dignified yakni nilai yang tertinggi.
Bertindak selaku narasumber Anggota DKPP, Prof. Teguh Prasetyo, Redaktur Senior Harian Suara Merdeka, Ananto Pradono, Dr. Sri Wahyu Ananingsih, Anggota Bawaslu Jateng, Dr. Jawade Hafidz, Dekan FH Hukum Unisulla, dan Dr. Jeferson Kameo, Dosen Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga. Acara dipandu Tim Asistensi DKPP, Diah Widyawati. [Humas DKPP]