Jakarta, DKPP – Teori keadilan bermartabat berangkat dari postulat sistem; bekerja mencapai tujuan, yaitu keadilan bermartabat. Keadilan yang memanusiakan manusia, atau keadilan yang nge wong ke wong (memanusiakan manusia-red). Hal ini disampaikan Anggota DKPP, Prof. Teguh Prasetyo melalui wawancara telepon, Rabu (29/4/2020) siang.
Konteksnya dalam demokrasi adalah menempatkan demokrasi dengan benar. Penyelenggara pemilu jangan memanipulasi atau mengutak-utik suara dan prinsip serta asas pemilu harus dijaga. “KPU adalah benteng terakhir yang mengawal suara rakyat,” kata Prof. Teguh.
Sistem pemilu yang bersifat proporsional terbuka membuat peserta yang berkontestasi saling berkompetisi. “Untuk memenangkan kontestasi, kandidat harus berkompetisi dengan susah payah, bahkan sampai ‘berdarah-darah’, jatuh bangun, bahkan dalam partai yang sama juga berkompetisi,” Prof. Teguh menganalogikan.
Oleh karena itu lanjut Prof. Teguh, kandidat yang telah memenangkan pemilu dengan susah payah itu, suaranya harus dijaga oleh KPU. Kontestan yang kalah pasti akan berupaya sedemikian rupa, misalnya melalui gugatan atau sengketa di pengadilan. “Ada beberapa contoh seperti di Kota Makassar dan di Jawa Barat. Calon yang kalah akan melakukan kiat-kiat atau strategi melalui jalur manapun yang memungkinkan,” katanya.
Terkait masalah internal di tubuh partai soal calon yang ditetapkan sebagai pemenang misalnya, meskipun undang-undang pemilu tidak mengatur soal verifikasi ini kecuali kepada partai politik, tetapi karena ini adalah suara rakyat yang diperoleh dengan susah payah, maka KPU pun harus melakukan verifikasi selain kepada parpol juga kepada calon.
“Jadi itu equal atau seimbang, selain ke parpol KPU juga verifikasi kepada pemilik suara untuk menanyakan duduk perkara sebenarnya. KPU jangan langsung percaya kalau perlu tetap bertahan pada apa yang diyakini
“Apakah betul ini adalah kadermu? Apakah betul dia dipecat dari partai? kenapa dipecat? KPU tidak langsung menerima. KPU juga ke datang pemilik suara, tanya duduk perkara sebenarnya. Ada equil (keadilan-red). Jadi tidak langsung mengiyakan, tentunya partai politik akan bilang iya. Tetapi KPU tidak langsung percaya, jika perlu tetap bertahan pada apa yang diyakini,” jelasnya.
Misalnya calon tersebut karena dianggap tidak menuruti ketentuan atau perintah dari parpolnya kemudian dipecat dan mengajukan sengketa ke PTUN dan ternyata KPU kalah, hal ini tidak mengapa. “KPU kalah pun tidak apa-apa karena sudah ada upaya sungguh-sungguh sebagai benteng terakhir untuk membela suara rakyat. Ini maksud saya bahwa keadilan bermartabat, keadilan yang harus diperjuangkan tidak hanya dalam tataran formal tapi tataran substantive. Suara yang diperoleh susah payah ini jangan gampang kegeser. KPU harus berani fight,” tegas Prof. Teguh.
KPU dihadapkan pada problem yang berat yang berat oleh karena itu KPU harus mempunyai inovasi pikiran yang bermartabat. Hal ini sebagai bentuk dari asas tanggung jawab, asas adil, tidak hanya percaya pada apa yang telah diyakini. “Semua suara kan ada di KPU? tambahnya.
Di akhir wawancara, Prof. Teguh menyampaikan bahwa maksud penundaan pilkada adalah untuk mempersiapkan diri baik itu sarana lunak atau keras dalam mewujudkan pilkada bermartabat. Selain itu proses yang terjadi dengan peradilan etik DKPP dengan sanksi yang sangat keras harus dijadikan sebagai perenungan.
“Penundaan ini adalah waktunya untuk melakukan perenungan, menginventarisasi putusan-putusan DKPP mana yang menyebabkan sampai ada pemberian tetap,” pungkasnya [Humas DKPP]