Jakarta, DKPP –
Anggota DKPP Prof. Anna Erliyana berpendapat beda (dissenting opinion) atas
Putusan DKPP terhadap perkara KIP Aceh Timur. Seperti diketahui, amar putusan
DKPP terkait perkara tersebut menyatakan bahwa para Teradu yakni Husni Kamil
Manik, Sigit
Pamungkas, Arief Budiman, Ida Budhiati, Juri Ardiantoro, Ferry Kurnia
Rizkiyansyah, dan Hadar Nafis Gumay, masing-masing sebagai Ketua dan Anggota KPU
RI,
kemudian Ridwan Hadi,
Basri M. Sabi, Robby Syah Putra, Fauziah, Junaidi, Muhammad, dan Hendra Fauzi, masing masing
sebagai Ketua dan Anggota
KIP Aceh,
tidak terbukti melanggar kode etik penyelenggara Pemilu. Mereka kemudian direhabilitasi nama baiknya.
Pendapat Anna didasarkan pada putusan Mahkamah Agung Nomor 46K/TUN/2015 tertanggal 30 Maret
2015.
Menurutnya, putusan tersebut
telah berkekuatan hukum tetap. Oleh
karena
itu, berdasarkan asas Res Judicata pro
Veritate Habetur (putusan hakim harus
dianggap benar), putusan a quo harus
ditindaklanjuti segera oleh Teradu II sampai dengan Teradu VII.
“Rentang waktu antara Putusan a
quo tertanggal 30 Maret 2015 dengan Keputusan KPU Nomor 58/Kpts/KPU/Tahun 2016 tanggal 25 Mei 2016
tentang Pengangkatan Anggota KIP Kab. Aceh Timur, periode 2013-2018 sebagai tindak lanjut dari Putusan a quo, telah menunjukkan jeda waktu
yang terlampau lama yang sempat mengakibatkan ketidakpastian hukum,†tutur Anna.
Jika dilihat
dari kronologis awal tindak lanjut Putusan a
quo, yakni tanggal 11 Februari 2016 pada saat Teradu II sampai dengan Teradu VII mengeluarkan Surat KPU RI Nomor
63/KPU/II/2016 perihal Tindak Lanjut Putusan Kasasi Mahkamah Agung RI No.
46K/TUN/2015, tetapi rentang waktu keduanya dinilai terlampau lama. Seharusnya, menurut dia, Teradu II sampai
dengan Teradu VII
dapat menggunakan waktu secara efektif serta tegas dalam menindaklanjuti
Putusan a quo.
Dia
menambahkan, KIP Aceh merupakan bagian dari KPU RI sebagaimana diatur
dalam Pasal 1 angka 12 Qanun Aceh Nomor 7 Tahun
2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum di Aceh. Hal ini selaras dengan Pasal 1 angka 12 Undang Undang Nomor 11
Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh yang menyatakan bahwa Komisi
Independen Pemilihan selanjutnya disingkat KIP adalah KIP Aceh dan KIP
kabupaten/kota yang merupakan bagian dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang
diberi wewenang oleh undang-undang untuk menyelenggarakan pemilihan
umum Presiden/Wakil Presiden, anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan
Perwakilan Daerah, anggota DPRA/DPRK, pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur,
bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota.
“Meskipun terdapat mekanisme berbeda dalam
proses penjaringan, penyaringan, pengusulan, penetapan dan pelantikan anggota
KIP Aceh dan KIP Kabupaten/Kota, secara kelembagaan kedudukan KIP baik fungsi
maupun organ merupakan bagian dari KPU. Sebagai lembaga subordinat KPU, KIP Aceh memiliki sifat yang sama
dengan KPU RI sebagai Penyelenggara Pemilu khususnya dalam hal kemandirian,†ujar dia.
Namun,
lanjut dia, klarifikasi yang dilakukan Teradu VIII sampai dengan Teradu XIV ke DPRK
Aceh Timur, sebagai tindak lanjut Surat KPU Nomor 63/KPU/II/2016 tanggal 11 Februari 2016 terkait nama-nama calon anggota KIP Aceh Timur,
justru menunjukkan ketidakmandirian KIP Aceh. Padahal Putusan MA Nomor
46K/TUN/2015 tertanggal 30 Maret 2015 telah secara eksplisit memerintahkan
nama-nama yang harus ditetapkan sebagai anggota KIP Aceh Timur dengan merujuk
pada hasil Penetapan Komisi A DPRK Kab.
Aceh Timur.
Hal ini berarti bahwa KIP Aceh
dapat memverifikasi langsung nama-nama yang akan ditetapkan sebagai anggota KIP
Aceh Timur sebagai tindak lanjut dari pelaksanaan putusan MA mengingat proses
penjaringan, penyaringan, dan pengusulan di DPRK telah selesai dilakukan. Klarifikasi terhadap DPRK Aceh
Timur yang dilakukan KIP Aceh telah mengurangi nilai kemandirian KIP Aceh dan
mengesankan KIP Aceh sebagai lembaga
subordinat DPRK Aceh Timur.
“Tindakan Teradu II sampai dengan Teradu XIV telah mengakibatkan
terganggunya kepastian hukum yang berdampak terhadap terganggunya asas tertib penyelenggaraan
pemilu maupun asas efesien dan efektif yang diatur dalam Pasal 5 huruf d, e, k
dan e Peraturan Bersama KPU, Bawaslu, dan DKPP Nomor 1, 11, 13 Tahun 2012
Tentang Kode Etik Penyelenggara Pemilu. Pelanggaran tersebut merupakan bentuk
kecerobohan Para Teradu. Oleh sebab itu, sanksi Peringatan sepatutnya dijatuhkan kepada Teradu II
sampai dengan Teradu XIV,†tutur Anna. [Nur
Khotimah]