Semarang, DKPP – Secara
umum Pemilu Legislatif Tahun 2014 telah berjalan sesuai dengan rencana. Setiap
tahapan pemilu sesuai dengan jadwal yang ditentukan. Meskipun demikian, raport
Pemilu tahun ini memiliki nilai-nilai merah. Persoalan-persoalan yang terjadi
dalam Pemilu Legislatif sekarang frekuensi dan intensitasnya paling tinggi
dalam sejarah Pemilu pascareformasi ini.
Menurut Pengajar Fisip Undip Nur
Hidayat Sardni SSos MSi, permasalahan yang muncul dalam Pemilu Legislatif
seperti tertukarnya surat suara antardapil. Secara nasional menurut catatan
Bawaslu di 400 dapil. Contohnya, di Jatim ada 18 dapil, yakni Kota
Surabaya, Sidoarjo, Mojokerto, Gresik, Bojonegoro, Jombang, Malang, Kediri,
Nganjuk, Probolinggo, Banyuwangi, Lumajang, Madiun, Ponorogo, Bangkalan,
Pamekasan, Kabupaten Kediri dan Lumajang. Kasus yang sama di provinsi lain
seperti NTT ada 21 kabupaten, di DIY ada 5 kabupaten/kota.
“Di Jawa Tengah, tertukar surat suara
terjadi di Banyumas, Rembang dan Salatiga,†kata Nur Hidayat Sardini yang juga
anggota Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu dalam acara Seminar Nasional
Evaluasi Pileg 2014 di Ruang Seminar Fisip Undip, Semarang, Jawa Tengah, pada
Senin (19/5).
Persoalan berikutnya seperti
merebaknya praktik politik uang atau money politic. Lembaga survey
menyebutkan, rata-rata orang menginginkan adanya uang sebesar antara Rp.50 ribu
hingga Rp.200 ribu. Para pemilih menanti adanya praktik ini. “Bahkan politik
uang ini justru melibatkan petugas atau penyelenggara Pemilu di daerah,†jelas
mantan ketua Bawaslu RI itu.
Masalah lain yang terjadi dalam
Pemilu 2014 adalah manipulasi suara seperti penambahan suara, pengurangan
suara, penggeseran suara, dan penghilangan suara. “Manipulasi suara di form
model D/DA/DB/DC/DD, BA, Rekapitulasi
Hasil Penghitungan Perolehan Suara Partai Politik dan Perolehan Suara Calon di setiap tingkatan dalam Pemilu Tahun 2014,†jelas kandidat
doktor ilmu politik itu.
Peran dan Fungsi DKPP
Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu
(DKPP) berperan menindak para penyelenggara pemilu yang melanggar kode etik
penyelenggara Pemilu. Terkait dengan kasus tahapan pemungutan dan
penghitungan suara per tanggal 14 Mei 2014 DKPP telah menerima 247
kasus. Dari jumlah tersebut, pihak Teradu KPU sebanyak 166 kasus sedangkan
Teradu dari Bawaslu sebanyak 58 kasus. Dari kasus-kasus yang masuk ke DKPP,
hasil kajian verifikasi materil 79 kasus masuk sidang, 62 kasus yang masuk
kategori dismissal atau ditolak, 24 kasus yang belum memenuhi
syarat, 4 perkara yang ditunda karena perlu kajian lebih dalam dan 78 kasus
masih dalam pelengkapan oleh Pengadu.
“Perlu diketahui, sebanyak 79 perkara
laik sidang tersebut, sebanyak 44 perkara sudah disidangkan dalam pekan yang
lalu, dan sebanyak 22 perkara di dalamnya akan dibacakan Putusannya pada Jumat
23 Mei 201,†terang Sardini.
Dengan demikian, selama DKPP berdiri,
dari tahun Juni 2012 hingga 9 Mei 2014, lembaga yang diketuai oleh Prof Jimly
Asshiddiqie telah menerima 1.047 pengaduan, perkara yang didismissal sebanyak
793 kasus, perkara yang naik sidang sebanyak 254 kasus.
“Dari kasus-kasus yang disidangkan,
DKPP telah merehabilitasi 444 penyelenggara pemilu, memberikan peringatan
tertulis sebanyak 160 penyelenggara pemilu, pemberhentian sementara sebanyak 13
orang dan memberhentikan tetap 143 orang,†ungkap pria yang disapa NHS itu.
Evaluasi
NHS menjelaskan, akar permasalahan
yang terjadi pada Pemilu 2014 adalah sistem Pemilu Proporsional dengan daftar
terbuka melalui penetapan perolehan suara terbanyak sebagai pemenang,
menyumbang persoalan-persoalan Pileg tahun 2014 ini, seperti bergesernya
orientasi politik pemilih sebagai representasi cermin keadaan masyarakat, juga
menyumbang karut-marut Pemilu dan problematika-problematika sosial non-Pemilu
masuk dan memanfaatkan even Pemilu sebagai cara untuk mengeduk
keuntungan-keuntungan.
“Mungkin mereka mencontoh perilaku
elite politik kita. Sebagai bagian dari masyarakat, petugas/penyelenggara
Pemilu masuk dalam turbulensi persoalan, sehingga memanfaatkan momentum Pemilu
sebagai usaha untuk mencari keuntungan-keuntungan bagi diri dan kelompoknya,â€
jelas dia.
Namun Pemilu Presiden dan wakil
presiden mungkin tidak akan serumit Pileg ini, namun khusus bagi
petugas/penyelenggara Pemilu, haruslah ada tindakan tegas bila perlu dipecat.
Sedangkan untuk Pileg tahun 2019, sistem Pemilu hendaknya diubah menjadi
Proporsional dengan daftar tertutup, sehingga urusan persaingan di antara caleg
adalah urusan dan diselesaikan secara internal di partai politik.
“Untuk perbaikan, sudah saatnya kita
menerapkan sistem e-counting dalam
rekpitulasi suara, karena sistem penghitungan dan rekapitulasi suara sejak PPS
dan PPK menjadi simpul-simpul deviasi manipulasi suara.
Caranya adalah: Penerapan e-counting dilakukan untuk Jawa dan
ibukota kabupaten/kota se-Indonesia, sementara untuk di luar daerah-daerah itu
lakukan penghitungan suara manual di tingkat kabupaten/kota,†tutup pria
beranak tiga itu.
Selain Nur Hidayat Sardini,
narasumber lainnya, Ketua KPU Jateng Joko Purnomo, Ketua Bawaslu Jateng Abhan
Misbah dan mantan ketua KPU Jawa Tengah Fitriyah. Hadir dalam peserta seminar
ini, para akademisi, aktivis penggiat pemilu dan tokoh masyarakat serta aktivis
LSM. Hingga berita ini diturunkan seminar masih berlangsung. (redaksi)