Semarang,
DKPP – Ketua Dewan Kehormatan
Penyelenggara Pemilu (DKPP) Prof Jimly Asshiddiqie menjelaskan bahwa ada jarak
antara dunia perilaku dengan dunia ide-ide yang diadopsi dari luar. Misalnya,
pembentukan komisi-komisi dalam struktur pemerintahan. Sedangkan kebiasaan perilaku
yang dipraktikan masih tradisional secara turun temurun.
“Jika tidak
ada dialog antara dunia ide dengan tradisi kebudayaan, maka kita akan menghadapi
malapetaka dan kita menjadi dua wajah,†katanya dalam acara kuliah umum (stadium
generale) yang diselenggarakan oleh Fakultas Ilmu Budaya Universitas
Diponegoro, di Gedung Prof Sudarto SH, Semarang, Jumat (4/9). Peserta kegiatan
ini adalah ratusan mahasiswa baru Fakultas Ilmu Budaya Universitas Dipenogoro.
Dia
melanjutkan, orang Indonesia kurang perhatian terhadap sejarah termasuk di
dalamnya terhadap kebudayaan. Bila dibandingkan dengan China dan India kalah
jauh. Di India, buku-buku menggunakan Bahasa Inggris. Uniknya, semua buku-buku
pasti dikaitkan dengan tradisi masa lalu India. Ada usaha untuk menghubung
antara masa lalu dengan ide-ide modern.
“Semua
buku-buku juga China referensinya ke masa lalu seperti ke Dinasti Ming, Dinasti
Han dan lain sebagainya,†ungkap dia.
Cina seperti
sekarang ini, lanjut dia, hasil dari pergumulan pemikiran yang datang dari luar
dan tradisi. Cina menghasilkan sesuatu yang berbeda sesuatu dengan barat. Bahkan
menjadi kompetitor bagi peradaban barat.
Begitu juga dengan Jepang, Korea. “Jadi kegairahan untuk menghubungkan dengan
masa kini dan masa lalu, masa kini dengan masa depan ditopang oleh kesadaran
kaum intelektual,†ujar Jimly.
Sementara
itu, sambungnya, di Indonesia kurang. Di
tengah globalisasi sekarang ini, para intelektual di Indonesia larut dari
pengaruh luar tapi kurang ditopang oleh ide-ide masa lalu dan masa kini dan
masa depan kita. jadinya ada jarak antara dunia ide dan dunia kelakuan. “Nah,
Ini persoalan kebudayaan. Perguruan tinggi, para dosen dan para mahasiswa
menjadi jembatan kebudayaan untuk menghidupkan tradisi kesejarahan supaya kita
punya hak secara moral untuk bermimpi tentang masa depan bangsa. Hanya mungkin
kita punya impian ke masa depan bila kita memiliki kesadaran sejarah di masa
lalu,†bebernya.
Dia
menambahkan, sejak dirinya menjadi ketua Mahkamah Konstitusi, pihaknya berusaha
untuk menerangkan aspek kebudayaan konstitusi kepada masyarakat. Dia
mempelopori penerjemahan Undang-Undang 1945 ke dalam bahasa daerah. Secara jumlah, ada 726 bahasa daerah di
Indonesia.
““Kita
kurang perhatian terhadap bahasa daerah. Laporan dari Unesco, ada sejumlah
bahasa yang hilang dan dan tidak ada lagi penuturnya. Untuk itu, saya
memimpikan semua daerah punya terjemahan Undang-undang 1945. Ada sebagian yang
sudah diterjemahkan seperti ke Bahasa Bali, Sunda, Jawa, Menado dan Aceh.
Bahkan untuk aceh, tidak hanya diterjemahkan akan tetapi ditembangkan atau
dinyanyikan,†tutupnya. [Teten
Jamaludin]