Ambon, DKPP- Penegakan kode etik
penyelanggara Pemilu yang dijalankan oleh Dewan Kehormatan Penyelanggara Pemilu
(DKPP) memiliki konsekuensi tersendiri. Dengan penegakan kode etik, secara tidak
langsung akan menempatkan para penyelanggara Pemilu sebagai obyeknya.
“Kode
etik penyelenggara Pemilu itu di satu sisi dapat menjadi pedoman bagi
penyelenggara. Juga dapat menyelamatkan Saudara dari moral hazard. Akan tetapi, penegakan kode etik juga punya
konsekuensi. Seluruh penyelenggara Pemilu adalah calon-calon korban (candidate of victim) dari penegakan
itu,†demikian ujar Anggota DKPP Nur Hidayat Sardini, saat menjadi narasumber
dalam Orientasi Tugas Penyelenggara Pemilu yang diadakan oleh KPU Provinsi
Maluku di Kota Ambon, Maluku, Rabu (26/11).
Di
depan 55 peserta orientasi yang merupakan komisioner KPU Kabupaten/Kota
se-Provinsi Maluku tersebut, Nur Hidayat Sardini atau akrab disapa NHS
menegaskan agar mereka betul-betul menaati kode etik. NHS memahami, tugas
penyelenggara Pemilu itu memang sangat berat. Akan tetapi, kalau mau selamat
memang kode etik harus dipedomani.
“Ruang
lingkup kode etik itu berlaku 24 jam. Bukan hanya pas di kantor saja. Ketika
tidur pun, Saudara masih terikat,†tutur dia.
Salah
satu yang ditekankan oleh NHS dalam paparannya adalah soal netralitas. Seperti
lazimnya, hampir seluruh peserta Pemilu pasti akan berusaha mendekati
penyelenggara Pemilu. Menurut mantan Ketua Bawaslu RI ini, penyelenggara Pemilu
harus pandai bersikap.
“Tidak
cukup netral saja, tapi juga harus terlihat netral kepada peserta Pemilu.
Senyum pun dapat dinilai sebagai memihak kalau tidak dalam waktu dan tempatnya.
Oleh karena itu, kalau kondisinya sedang panas, jauhi semua. Tapi kalau
kondisinya sudah baik-baik, dekati semuanya,†kata dia. (as)