Bogor,
DKPP – Negara Indonesia adalah Negara Hukum. Norma
tersebut bermakna bahwa di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, hukum
merupakan urat nadi seluruh aspek kehidupan atau dengan kata lain hukum dijadikan sebagai
instrumen dasar yang sangat penting untuk berdirinya suatu negara dan
berpengaruh dalam segala aspek kehidupan masyarakat. Di
Indonesia
bekerjanya hukum (pidana) dalam mewujudkan keadilan bagi masyarakat dilakukan
melalui mekanisme sistem peradilan pidana.
Hal tersebut disampaikan oleh Direktur Tindak
Pidana Umum Lainnya Kejagung, DR. . Susilo
Yustinus. SH., MH saat memberikan materi “ Pembuktian sebagai Inti dari
Peradilan: Belajar dari Pengalaman Pembuktian dalam Persidangan Perkara Pidana,
dan Relevansi Penerapannya dalam Persidangan Etik di DKPPâ€, pada acara
Peningkatan Kapasitas Jajaran Sekretariat Biro Administrasi DKPP Tahap IIâ€, yang diselenggarakan di
Hotel Mirah Bogor 7-9 Desember 2016.
Pada awal paparan
Susilo menjelaskan terkait Sistem Peradilan Pidana, kedudukan, fungsi dan
kewenangan Kejaksaan, proses penuntutan hingga penjabaran
kewenangan Kejaksaan menunjukkan telah ditentukan secara limitatif dipegang
oleh penuntut umum sebagai bentuk monopoli, artinya tiada badan lain yang
berhak melakukan penuntutan selain penuntut umum (Kejaksaan) yang dikenal
dengan asas dominus litis.
Konsekuensi logisnya adalah Kejaksaan berada di posisi sentral dalam proses
penanganan perkara pada Sistem Peradilan Pidana Terpadu (SPPT) yang mana berkas
perkara hasil penyidikan hanya dapat disidangkan di persidangan melalui
Penuntut Umum, yang mana Hakim bersifat pasif hanya menunggu pelimpahan perkara
dari Penuntut Umum.
“Alat bukti sesuai Pasal 8 (2) Peraturan DKPP No. 1 tahun 2013 Tentang
Pedoman Beracara Kode Etik Penyelenggara Pemilihan Umum, sama dengan alat bukti
pada KUHAP, hanya saja terdapat penambahan berupa data atau informasi yang
dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau
tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apa
pun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik atau optik yang berupa
tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau
perforasi yang memiliki maknaâ€, papar Susilo.
“Meski tidak diatur terkait pemeriksaan saksi/ahli diperiksa satu per satu,
berdasarkan pengalaman pemeriksaan saksi/ahli pada persidangan pidana,
saksi/ahli yang telah mengetahui keterangan saksi/ahli sebelumnya dapat memberi
keterangan yang bertujuan untuk meng-counter keterangan saksi/ahli sebelumnyaâ€,
lanjut dia.
Dalam paparannya pria yang pernah menjabat sebagai mantan Kajati Provinsi
Kalimatan Tengah ini menjelaskan bahwa saksi yang hadir tidak selalu yang
melihat, mendengar, mengalami, namun dapat pula menyampaikan hal-hal yang
berkaitan erat /relevan. Sampai saat ini tidak ada aturan secara spesifik yang
menegaskan syarat seorang dapat hadir sebagai ahli, sehingga perlu didalami
terkait ahli yang tepat dihadirkan di persidangan.
Di akhir paparannya Susilo menegaskan bahwa pembuktian
di persidangan memegang peranan penting dalam rangkaian proses penanganan
perkara, namun demikian keberhasilan pembuktian tidak terlepas dari kesiapan
dari tahap sebelumnya.
“Meskipun praktek
sidang pidana dan sidang etik memang berbeda hukum acaranya, tetapi ada
beberapa prinsip yang sama, termasuk penghormatan pada asas presumption of
innocent sebelum perkara inkracht. Seluruh
proses penegakan hukum termasuk sidang etik maupun sidang pidana seyogyanya
tetap berakar pada tujuan hukum itu sendiri yaitu untuk mewujudkan keadilan,
memberi manfaat dan kepastian hukumâ€,
pungkasnya.
Sesi Rabu malam (7/12) dimoderatori oleh Tenaga Ahli DKPP, M. Saihu.,
M.Si sementara Anggota DKPP, DR. Nur Hidayat Sardini dan Saut H. Sirait
bertindak selaku panelis. Peserta kegiatan ini berasal dari Staf Persidangan dan Staf
Bagian Umum Biro Administrasi DKPP, selain itu DKPP mengundang pula staf sekretariat
dari Bawaslu, KPU dan KPU DKI Jakarta. [Diah
Widyawati_2]