Jakarta, DKPP –
Undang-undang Pemilu banyak memuat pasal-pasal pidana Pemilu. Namun pada
praktiknya, pasal-pasal tersebut kurang efektif. Bahkan cenderung
kriminalisasi.
“Sebaiknya, Undang-Undang Pemilu jangan terlalu banyak
ancaman dengan pasal-pasal pidana,†kata Nur Hidayat Sardini, anggota Dewan
Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) dalam acara diskusi Sistem Pemilu dan
Penguatan Demokrasi dan Tata Pemerintahan yang Efektif di United Nations
Development Program (UNDP), Jalan Imam Bonjol, Jumat (12/12).
Narasumber lainnya adalah Syaefunnur Maszah, ketua DPP
Hanura, Abdul Hakam Naja, ketua DPP PAN, Wahidah Suaib, anggota Bawaslu
2008-2011, Kevin Evans, UNDP, Sigit Pamungkas, anggota KPU RI.
Nur Hidayat Sardini menceritakan, bagaimana praktik
pasal pidana. Pada saat dia menjadi ketua Panwaslu Jawa Tengah, pihaknya
menemukan dugaan pelanggaran pidana. Perkara tersebut masuk ke pengadilan.
Pihaknya menyiapkan data hasil kajian selama seminggu.
“Hakim memvonis kepada si pelanggar dengan Rp 200.000.
Si pelanggar itu bertanya, Pengadilan tutupnya jam berapa? Saya mau ke ATM dulu
mengambil uang,? Coba bayangkan. Kami sudah menyiapkan satu minggu. Vonis cuma
Rp 200.000. Ini kan hanya dagelan saja,†ucapnya.
Kevin Evan pun sependapat bahwa ada upaya
kriminalisasi yang dimuat dalam undang-undang Pemilu.
Misalnya, berkampanye dengan melibatkan anak-anak. “Why not, kenapa harus
dikenai pasal pidana. Pada praktinya, pasal-pasal pidana tersebut tidaklah
efektif. Pelanggaran masih banyak. Pasal-pasal tersebut tidak ada efek jera,â€
jelasnya.
Menurut Wahidah Suib sebaiknya, pasal pidana itu hanya
mencakup tiga hal saja. Pertama, manipulasi, baik itu manipulasi suara atau
manipulasi data. Kedua, merugikan keuangan negara. Dan ketiga, penyalahgunaan
jabatan. “Saya kira cukup mencakup tiga hal saja,†jelasnya. (ttm)