Jakarta, DKPP – Ketua Dewan
Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Prof.
Jimly Asshiddiqiemenghadiri undangan acara silaturahmi oleh
Menko Polhukam. Acara yang mengusung tema “Silaturahmi Menko Polhukam dengan
Pimpinan Partai Politik Dalam Rangka Menyukseskan Pilkada Serentak Tahun 2015â€
dihadiri antara lain oleh Menko Polhukam Luhut Binsar Pandjaitan, Menkum HAM Yasonna
Laoly, Ketua DPR RI Setya Novanto, Kapolri Jenderal Badrodin Haiti, Panglima
TNI Jenderal TNI Gatot Nurmantyo, Kepala BIN Sutiyoso, Ketua KPU RI
Husni Kamil Manik serta stakeholders
kepemiluan termasuk pula pimpinan partai politik.
Pada acara ini menko Polhukam
membahas lima subjek masalah yang membutuhkan
perhatian serius. Kelima masalah tersebut adalah perkembangan Pilkada, update situasi keamanan Indonesia,
narkoba, perkembangan ekonomi serta kebakaran hutan. Khusus mengenai
perkembangan Pilkada ada dua hal yang menjadi perhatian yaitu indeks demokrasi
dan calon tunggal.
“Indeks demokrasi,
kedewasaan politik semakin matang dari 63,72 persen pada tahun 2013 meningkat
menjadi 73,04 persen pada tahun 2014. Ini naik 9,32,†terang Luhut.
Mengenai calon
tunggal, Luhut memastikan ada tiga calon tunggal di Kab. Blitar, Kab. Tasikmalaya dan Kab. Timor Tengah Utara. Selain
calon tunggal, ada masalah lain yang berpotensi mengganggu kesuksesan jalannya
pilkada, yakni surat pemberhentian calon yang memiliki latar belakang sebagai
PNS, anggota TNI/Polri ataupun anggota legislatif.
Seperti diungkapkan seorang peserta bahwa ada
beberapa calon yang hingga jelang batas akhir penyerahan, surat pemberhentian
dari instansi terkait belum juga diterima padahal sudah diurus, namun hingga batas
akhir yaitu tanggal 24 Oktober belum juga diterima.
Berdasarkan UU No. 8
Tahun 2015 yang mengatur bahwa setiap calon harus
memiliki SK pemberhentian dari instansi terkait dan keputusan ini pun sudah
dikuatkan oleh putusan MK.
Menurut Ketua DKPP
Prof. Jimly Asshiddiqie, SK pemberhentian merupakan bagian dari prosedur
formalitas administratif dan prosedur administratif harus dimaknai sebagai
moral reading bukan tekstual reading. Oleh karenanya jalan keluar yang solutif
harus segera diambil sesuai dengan mekanisme yang berlaku. Hal ini dimaksudkan
agar calon-calon dapat ikut bersaing dalam Pilkada.
“Biarkan rakyat yang
menentukan siapa yang mau dipilih tapi jangan calon-calon dijegal dengan cara
yang tidak sehat. Jika sampai itu terjadi maka demokrasi dan pemilihan umumnya
menjadi tidak berintegritas dan itu yang harus kita jaga, jangan sampai
terjadi,†tutup Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia tersebut.
(Prasetya Agung N)