Palu, DKPP- Sebagian besar ahli
hukum masih berpendapat bahwa hukum adalah panglima. Hukum adalah segalanya.
Hukum tidak boleh bercampur dengan aspek lain seperti budaya dan sosilogi dan
agama. Doktrin supremasi hukum melanda seluruh umat manusia.
Demikian disampaikan oleh Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP)
Prof. Jimly Asshiddiqie dalam kuliah umum di Fakultas Hukum Universitas
Tadulako, Kamis ( 19/11) pukul 13.30 WITA.
Menurut Jimly yang juga Guru Besar Hukum Tata Negara di Universitas Indonesia
itu mengatakan, padangan tersebut dilatarbelakangi oleh pandangan Hans Kelsen,
seorang ahli hukum. Kelsen juga pengusul Mahkamah Konstitusi di Austria
tahun 1920 sekaligus MK pertama di dunia. Menurut Kelsen, hukum itu
harus murni. Hukum tidak boleh dicampuri oleh norma budaya begitu juga norma
agama. “Semua ilmu sosial harus tunduk terhadap kausalitas, sebab akibat. Tapi
tidak dengan ilmu hukum,†jelas dia.
Sanksi hukum adalah penjara. Awalnya, hukuman penjara adalah untuk menjerakan.
Penjara menjadi tempat pembinaan. Namun pada perkembangannya, hukum tidak bisa
menyelesaikan masalah. “Sekarang, di mana-mana penjara mengalami kelebihan
kapasitas. Selain itu, penjara menjadi sekolah kriminal. 75 persen yang keluar
dari penjara makin kumat. Sisanya hanya 25 persen yang tobat,†ungkap dia.
Jimly mengenalkan penegakan etika. Etika ini mulai berkembang seperti di
Amerika dan Australia. Mantan ketua Mahkamah Konstitusi ini menerangkan, sistem
hukum yang ada jalan terus, tetapi mekanisme etika perlu diperkenalkan.â€Peradilan
ini lebih sederhana. Sehingga peradilan etik ini bisa membebaskan atau
menyelamatkan institusi kita dari pejabat yang melanggar etika atau melanggar
hukum,†tutur dia.
Cara kerjanya, proses peradilannya sama dengan peradilan hukum, yaitu dilakukan
secara terbuka. “Bedanya dengan peradilan hukum yaitu, sistem peradilan hukum
itu prosesnya lebih ribet. Sistem hukum itu kalau nggak hukuman mati atau
hukuman penjara ,†jelas dia.
Sambung dia, kalau berbicara jabatan publik yang menyimpang etika, penjara
tidak penting. “Yang penting pecat. Selamatkan nama baik lembaga negara itu,â€
tutup dia.
Dengan peradilan etik ini, bisa menjadikan Indonesia sebagai negara pertama di
dunia yang membangun sistem peradilan etik yang diselenggarakan secara terbuka.
“TAP MPR No 6 tahun 2001 tentang Etika Berbangsa, nah ini sedang kita terapkan
secara lebih konkrit dalam sistem bernegara,†tutup dia. [Teten Jamaludin]