Malang, DKPP – Saat menyampaikan
Kuliah Umum di Universitas Brawijaya (3/4), Ketua DKPP, Prof. Jimly Asshiddiqie, menyatakan
bahwa Pilkada
serentak yang telah dilaksanakan mulai 2015 lalu, dinilai kurang pas terhadap mekanisme
UUD 1945.
Menurutnya, ketika Pasal 22E UUD 1945
dirumuskan, niat awalnya ialah Pemilu Eksekutif Dan Pemilu Legislatif dibarengkan. Sementara
sekarang ini yang diserentakkan ialah Pilkada, yang mana Pemilihan Eksekutif
dengan Eksekutif yang diserentakkan.
“Hal ini keliru. Yang diserentakkan
bukan eksekutif dengan eksekutif, atau
legislatif sama-sama dengan legislatif, tetapi sesuai niatnya dalam rangka
memperkuat sistem presidential, maka eksekutif dan legislatif dibarengkan
dipilih. Bukan asal serentak. Oleh karena pemilu legislatif dan eksekutif sudah
diputuskan serentak di tahun 2019 mendatang, seharusnya semua regulasi mengarah
ke sistem itu. Jangan lagi membuat UU baru yang sifatnya sementara,†tegasnya.
Berarti, lanjut dia, memilih presiden
dengan DPR dan DPD, memilih gubernur dengan DPRD, memilih bupati/walikota
dengan DPRD, itu yang
diserentakkan. Jika menginginkan efisiensi bisa sekaligus Pilpres dan DPR jadi
satu, atau Pilkada
dan DPRD jadi satu, atau secara bertingkat dengan tiga kali pemilihan.
“Mengapa niatnya dipasangkan
serentak? Hal ini dimaksudkan agar rakyat bebas memilih. Waktu memilih eksekutif
dia memilih tokoh dari partai A misalnya, kemudian
memilih legislatifnya dari tokoh partai
B,â€ujarnya.
Menurutnya, hal ini bertujuan supaya pemilihan
eksekutif tidak bergantung harus mempersyaratkan
pemilihan legislatif. Saat ini, koalisi dan tradisi transaksi politik
kebanyakan sehingga mempengaruhi pemerintahan. Semestinya koalisi cukup satu
kali yakni saat menyusun kabinet, sehingga lebih genuine, lebih kuat, kompak, dan presiden berpikirnya lebih jangka
panjang.
“Maka sistem pemilihan umum serentak
tahun 2019 nanti, merupakan pengalaman pertama kita dalam sejarah yang Insya
Allah memperkuat sistem pemerintahan,†ujarnya.
Jimly juga menambahkan bahwa ancaman
dalam sistem presidential ialah impeachment.
Ketika pemilu serentak 2019 nanti, ada kemungkinan presiden terpilih, tetapi
partai pengusungnya tidak lolos threshold.
Jika presiden tidak punya pendukung di DPR ditakut-takuti impeachment.
“Impeachment dalam sistem presidensiil murni berbeda dengan
impeachment dalam sistem presidensiil campuran apalagi impeachment dalam sistem
parlementer,†katanya.
Menurutnya, impeachment dalam sistem presidensiil campuran dan parlementer
menakutkan seperti yang terjadi di Turki dan Thailand. Akan tetapi, hal ini
tidak berlaku dalam sistem presidensiil
murni seperti di Amerika Serikat dan Indonesia.
“Justru, impeachment sebagai fasilitas konstitusional yang melindungi
presiden. Mekanisme impeachment dalam
UUD 1945 adalah perlindungan bagi seorang Presiden Republik Indonesia,â€
ungkapnya.
Menurut ketentuan UUD 1945 tidak
mungkin presiden dipecat, karena mekanismenya sulit. Syarat, forum dan
kuorumnya memang susah.
“Jauh lebih mudah mengubah UUD 1945
dibandingkan mengimpeach presiden. Jikalau memang harus melalui impeachment, boleh jadi Gus Dur pun tidak pernah akan
diberhentikan. Karena kuorumnya berada di MPR dan harus dibuktikan dulu secara
hukum bahwa dia memang bersalah di Mahkamah Konstitusi. Maka, MK berfungsi
sebagai peradilan pidana terhadap tuduhan pelanggaran. Kalau sudah terbukti,
baru nantinya dibawa ke MPR,†jelasnya.
Jadi, lanjut Jimly, sistem yang kita
perkuat sudah benar asal tidak disalahpahami. Ini yang harus dijadikan
pegangan. Jika pemilihan serentak 2019 sudah diskenariokan seperti itu,
seharusnya UU Pilkada harus ikut mengarah kesitu.
“Yang kemaren diputuskan itu enggak. Bahkan,
ketentuan mengenai pilkada merupakan pemilu atau bukan belum terjawab disitu.
Bahwa memang sistem regulasi belum tertata dan belum terintegrasi,†tutupnya.
[Nur Khotimah]