Jakarta, DKPP- Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Prof Dr Jimly Asshiddiqie memperkenalkan sistem peradilan etika penyelenggara negara kepada Presiden. Peradilan etika tujuannya untuk mengontrol prilaku pejabat publik baik yang ada di pusat hingga ke daerah.
“Kita memerlukan UU Etika Penyelenggara Negara. Presiden sangat menyambut baik ide ini. Presiden bila berbicara soal etika selalu consern,” kata Jimly saat konferensi pers usai menyerahkan buku Annual Report Satu Tahun DKPP di Istana Presiden, tadi siang.
Kemudian, lanjut dia, setelah pertemuan ini, ia diminta untuk berkoordinasi dengan para menteri seperti Menteri Hukum dan HAM, Menteri Reformasi Birokrasi dan Pemberdayaan Aparatur Negara dan menteri-menteri terkait. “Setelah ini kami akan melakukan pembicaraan, tukar pikiran lebih lanjut,” ujar dia.
Undang-undang Etika Penyelenggara ini, bukan berarti etika pegawai negeri sipil (PNS). Tapi undang-undang ini mencakup semua etika pemerintahan dan pejabat penyelenggara negara meliputi eksekutif, legislatif hingga yudikatif baik yang ada di pusat hingga di daerah. Peradilan etik ini perlu diperkenalkan dengan insfrastruktur etika. Insfrastruktur etika ini komplementer terhadap infrastruktur hukum. ”Jadi peradilan etik ini sebagai mekanisme kontrol prilaku pejabat publik kita,” jelas pengajar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia itu.
Mantan ketua Mahkamah Konstitusi ini menerangkan, sistem hukum yang ada jalan terus, tetapi mekanisme etika perlu diperkenalkan (diinstalled). Tujuannya, setiap pejabat publik yang menyimpang baik yang ada di pusat hingga daerah bisa langsung diproses dengan cepat dan tidak ribet serta bertingkat-tingkat seperti pada peradilan hukum yang ada.
“Peradilan ini lebih sederhana. Sehingga peradilan etik ini bisa membebaskan atau menyelamatkan institusi kita dari pejabat yang melanggar etika atau melanggar hukum,” tutup dia.
Cara kerjanya, proses peradilannya sama dengan peradilan hukum, yaitu dilakukan secara terbuka. “Bedanya dengan peradilan hukum yaitu, sistem peradilan hukum itu prosesnya lebih ribet. Sistem hukum itu kalau nggak hukuman mati atau hukuman penjara. Nah, sekarang penjara sudah penuh semua,” jelas dia.
Sambung dia, kalau berbicara jabatan publik yang menyimpang etika, penjara tidak penting. “Yang penting pecat. Selamatkan nama baik lembaga negara itu,” tutup dia.
Kemudian saat ditanya wartawan apakah konsep pengadilan etika ini tidak akan tumpang tindih dengan badan-badan etika yang ada? Jimly menjawab bahwa justru pengadilan etik ini perlu mengintegrasikan, membina atau mendorong, di dalam insttisusi publik dan profesi publik yang menyangkut kepentingan publik. “Sistem kode etik dan penegak kode etik. Kode etik ini tidak perlu seragam. Disesuaikan dengan kebutuhannya masing-masing,” jelas dia.
Dia mengatakan, sudah saatnya membuka tradisi baru. Dengan peradilan etik ini, bisa menjadikan Indonesia sebagai negara pertama di dunia yang membangun sistem peradilan etik yang diselenggarakan secara terbuka. “TAP MPR No 6 tahun 2001 tentang Etika Berbangsa, nah ini sedang kita terapkan secara lebih konkrit dalam sistem bernegara,” tutup dia. (TTM)