Jakarta, DKPP – Anggota Dewan Kehormatan
Penyelenggara Pemilu (DKPP) Ida Budhiati mengapresiasi
penyelenggaraan Pilkada serentak tahun
2018. Hal itu disampaikan dalam diskusi
yang diselenggarakan oleh KORELASI (Komunitas Pemerhati dan Pers Peduli Pemilu &
Demokrasi), Selasa (3/7) bertempat di Media Center Bawaslu. Menurutnya, selain kesuksesan
penyelenggaraan pemilu dalam melaksanakan tahapan sesuai dengan jadwal. Ida menilai
ada beberapa catatan yang perlu diperhatikan untuk perbaikan penyelenggaraan
pilkada serentak ke depan.
“Dalam data penangananÂ
perkara DKPP, per tanggal 12 Juni 2018 sampai dengan 25 Juni 2018 kami
mencatat sebanyak 332 pengaduan yang disampaikan kepada DKPP. Setelah
diverifikasi, kami nyatakan 162 perkara saja yang layak untuk disidangkan.
Jadi, tidak semua perkara yang masuk bukan otomatis disidangkan tetapi harus
melalui proses verifikasi formil dan materiil,†jelas
Ida.
“Dari 162 perkara yang sudah diputus sebanyak 120 perkara. Jadi,
DKPP sekarang sedang memroses sebanyak 42 perkara,†lanjutnya.
Berdasarkan data DKPP, tiga daerah yang terbanyak diadukan yakni
berasal dari Papua sebesar 23 perkara. Kemudian, daerah Sumatra Utara sebanyak
14 perkara, dan Sulawesi Selatan sebanyak 12 perkara.
Lebih lanjut, Ida juga menjelaskan tipologi pengaduan. Pertama,
konflik internal kelembagaan penyelenggara. Kedua, berkaitan dengan isu
pencalonan. Ketiga, persoalan penanganan pelanggaran administrasi khususnya
perkara mutasi jabatan. Keempat, seleksi badan ad hoc. Kelima, penyelenggara pemilu existing tidak lagi memenuhi
syarat karena terbukti menjadi pengurus atau anggota parpol.
“Dari lima tipologi pengaduan setelah kami periksa, maka di dalam
data DKPP ada beberapa modus pelanggaran yang dilakukan oleh penyelenggara
pemilu. Pertama, modus penyalahgunaan wewenang.†kata Ida
lagi.
Ida memaparkan bahwa baru dalam Pilkada serentak tahun 2018 ini, terdapat kasus
penyalahgunaan wewenang yang terbukti, yakni melakukan pelecehan seksual
terhadap calon Panwascam. Selanjutnya, Ida memaparkan modus yang kedua, yakni
problem conflict of interest dalam
pengisian jabatan sekretariat di lingkungan penyelenggara dan maal
administrasi.
“Misalnya KPU bekerja. Mereka memutuskan seseorang tidak bisa lanjut
tahapan verifikasi berikutnya. Tetapi tidak mau menerbitkan sebuah keputusan
sehingga yang bersangkutan kehilangan kesempatan untuk menempuh upaya hukum.
Kan tidak ada buktinya, apa yang akan disengketakan, karena KPU tidak
mengeluarkan selembar surat bahwa dia
menyatakan yang bersangkutan tidak bisa lanjutÂ
tahapan berikutnya untuk dipilih, untuk menjadi seorang kandidat. Itu
yang disebut seabagai maal administrasiâ€, terangnya.
Terhadap catatan tersebut, menurut Ida solusinya yang pertama, dalam
proses seleksi maka perlu diperketat untuk memastikan aspek kemandirian dan
kapasitasnya dalam memahami regulasi. Kedua, setelah terpilih bimtek tidak berbeda antar daerah. Ketiga, aspek
kepastian hukum. Ini di level pusat KPU
dan Bawaslu untuk membuat sebuah tafsir tunggal atau melengkapi ketentuan-ketentuan
hukum yang masih belum lengkap. Keempat,
memastikan tata kerja untuk menghindari penyalahgunaan wewenang. (Irmawanti)