Nusa
Dua, DKPP – Perubahan politik dan norma hukum yang
dituangkan dalam Undang-undang No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum telah
merekonstruksi struktur dalam pelaksanaan tugas Dewan kehormatan Penyelenggara
Pemilu (DKPP) dalam memberikan pelayanan terhadap para pencari keadilan terkait
dugaan pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu.
Hal ini dipaparkan anggota
DKPP, Ida Budhiati saat menyampaikan materi pengantar di kelas B yakni Hal ini
dipaparkan anggota DKPP, Ida Budhiati saat menyampaikan materi pengantar di
kelas B yakni Peraturan No. 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Beracara Kode Etik
Penyelenggara Pemilu dihadapan peserta Rapat
Koordinasi Bawaslu Provinsi se-Indonesia dan Peningkatan Kapasitas Staf
Sekretariat Panwaslu/Bawaslu Kabupaten/Kota Dalam Penerimaan Pengaduan
Pelanggaran Kode Etik, di Hotel
Grand Aston Beach Resort, Bali. Senin (23/10).
Menurut Ida, staf penerimaan pengaduan di Bawaslu/Panwaslu kab/kota
adalah supporting sistem dan elemen pendukung pengambil kebijakan sebagai
pelaksana. Sebagai pelaksana staf harus memahami mulai sejarah kepemiluan,
terbentuknya DKPP selain kerangka hukum yang mengatur tugas tugas penyelenggara
pemilu.
“Bedasarkan sejarah kepemiluan di Indonesia, dalam penyelenggaraan pemilu masih belum
terlihat aspek pentingnya administrasi pemilu,†Ida membuka paparannya.
“Dulu baik jaman orde lama sampai orde baru penyelenggaraan pemilu
hanya melihat tindak pidana pemilu sebagai aspek utama. Pemilu tahun 1999 sikonnya
juga masih sama, belum banyak perhatian
terkait aspek administrasi. Hanya pelanggaran tindak pidana pemilu yang
dianggap mengganggu demokrasi,†kata Ida.
Menurut Ida, kesadaran muncul setelah dilakukan evaluasi Pemilu tahun
1999 namun belum dapat terimplementasikan, masih sebatas gagasan bahwa
Indonesia perlu menganggap penting memahami aspek administrasi pemilu
sebagaimana pemilu di belahan dunia lain.
“Perlu ditegaskan bahwa aspek
administrasi pemilu dapat mengurangi bahkan meniadakan hak konstitusi warga
negara misalnya karena kelalaian administrasi, tindakan yang disengaja,
penyelenggara tahu tapi sengaja melanggar undang-undang untuk menguntungkan
calon tertentu,†lanjutnya.
Bagaimana faktor administrasi dapat menghilangkan hak konstitusi warga
negara, Ida menjelaskan lebih lanjut. “Salah satu syarat pemilu berintegritas
adalah terdaftarnya setia warna negara yang telah memenuhi syarat sebagai
pemilih dalam pemilu. Kemudian bagaimana para voter diberikan kemudahan dalam
menggunakan hak pilihnya, termasuk kandidat yang bisa berkontestasi dengan
setara dan adil,†tambahnya.
Paparan berlanjut pada pemilu pasca reformasi tahun 2004. “Pemilu yang
ke dua pasca reformasi sudah diadvokasi NGO pegiat pemilu. Mereka terus menyuarakan
pentingnya merumuskan pelanggaran administrasi pemilu dan pertanggungjawaban yang dilakukan oleh penyelenggara
pemilu.
“Aspek administrasi pemilu belum dianggap penting, penyelenggaraan
pemilu masih mengadopsi Undang-Undang 12
Tahun 2013 tentang Pemilihan Umum Anggota
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah mengatur bahwa keputusan KPU adalah final dan mengikat. Keputusan KPU
tidak dapat diganggu gugat,†kata Ida.
Ida mengingatkan terkait penyelenggara pemilu dalam konteks ini adalah
KPU sebagai lembaga superbody karena apapun keputusan terkait pelaksanaan
pemilu tidak dapat diganggu gugat karena sifat putusannya adalah final dan
mengikat.
“Panwas sudah ada tapi tidak berdaya karena lahir dari rahim pemilu,
anggaran dari KPU. Meski sudah di era reformasi, peserta pemilu tidak berdaya,â€
ungkap Ida.
“Akhirnya advokasi dari masyarakat sipil seperti gayung bersambut
dengan partai politik. Masa iya, penyelenggara pemilu tidak bisa diminta
pertanggungjawaban. Lalu dibentuklah DK KPU yang bersifat ad hoc namun masih dengan
dominannya unsur penyelenggara pemilu sebagai anggota DK. Semangatnya masih
melindungi penyelenggara,†papar Ida
Menurut komisioner KPU
periode 2017-2017 komposisi ini tidak mencerminkan keadilan, karena demokrasi
masih hanya sebutan saja. Sejatinya dalam demokrasi bukan hanya ada jaminan
keadilan pemilu tapi bagaimana pelanggaran yang dilakukan oleh penyelenggara
harus dapat ditegakkan seadil-adilnya.
Tahun 2009 administrasi
pemilu telah menjadi perhatian serius. Penyelenggara pemilu harus benar-benar
independen, tidak sekadar dicantumkan dalam konstitusi tetapi hukum pemilu
harus ditegakkan, keputusan mencerminkan rasa keadilan karena tidak lagi didominasi
oleh penyelenggara pemilu sendiri.
Lebih lanjut Ida menjelaskan bahwa dalam aspek administrasi sangat
mungkin di dalamnya terkandung pelanggaran kode etik. Hal ini menjadi salah
satu risiko pekerjaan dalam kehidupan bernegara. Tahun 2009 dibentuk DK KPU
yang bersifat ad hoc, sidang dilakukan secara terbuka. Terkait administrasi
pemilu Undang-Undang No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu menyebutkan
bahwa administrasi pemilu dapat menjadi obyek sengketa pemilu.
“Saat ini periode yang sudah menuju gelap menjadi terang . Tahun 2009
dievaluasi lagi, pembentukan dewan kehormatan dirasa penting untuk dibuat
permanen. Evaluasi 2009 membuktikan banyak kasus pelanggaran kode etik tidak
tertangani dengan baik karena penyelenggara pemilu lebih disibukkan menangani
tahapan pemilu,†urainya.
Berdasarkan Undang-Undang No. 15 Tahun 2011 tetang Penyelenggara
Pemilu, dibentuklah DKPP yang berkedudukan di Jakarta dan menangani pelanggaran
kode etik dari pusat sampai ke jajaran PPL dan PPS. Unsur keanggotaan DKPP
tidak lagi mencerminkan komposisi mayoritas penyelenggara.
Pada
akhir paparannya Ida mengingatkan kepada staf penerimaan aduan agar jangan
menjadi ahli tafsir terlebih lagi sengaja menafsirkan dengan tujuan
keberpihakan kepada peserta pemilu.[Diah Widyawati_3]