Jakarta, DKPP – Ketua DKPP, Heddy Lugito, memberikan sambutan sekaligus membuka kegiatan Diskusi Terbatas Penguatan Lembaga Kode Etik yang diselenggarankan oleh DKPP di ruang sidang utama DKPP, pada Selasa (23/12/2025).
Dalam sambutannya, Heddy mengatakan bahwa DKPP saat ini tengah menghadapi tantangan besar dalam menjaga integritas demokrasi di Indonesia.
Seiring dengan meningkatnya beban kerja pasca pemilu, Ia menekankan perlunya penguatan kelembagaan secara menyeluruh, mulai dari penambahan sumber daya manusia (SDM) hingga pembukaan kantor perwakilan di daerah.
Menurut Heddy, struktur kelembagaan DKPP saat ini masih tergolong kecil dibandingkan dengan volume pengaduan yang masuk. Hal ini menyebabkan proses verifikasi, persidangan, hingga pembacaan putusan seringkali mengalami kendala kecepatan.
“Struktur kelembagaan kita masih kecil, sehingga ketika ada tsunami perkara yang masuk, DKPP kewalahan dalam memproses secara cepat,” ujarnya.
Ketidaksimbangan antara jumlah beban kerja dan personel menjadi sorotan utama. Heddy menjelaskan bahwa standar ideal SDM DKPP seharusnya berada di angka 225 orang, namun realitanya saat ini hanya diperkuat oleh sekitar 180 personel. Kurangnya SDM memicu evaluasi internal oleh Komisi II DPR RI terkait kecepatan penanganan pengaduan.
Dalam pandangan Heddy, menangani perkara etik tidak bisa disamakan dengan proyek fisik yang bisa dipercepat secara instan.
“Tidak mungkin kita lakukan percepatan (secara sembarangan). Ini bukan soal pembangunan jalan atau jembatan, tapi ini perkara. Karena SDM kita tidak memenuhi standar jumlah, maka percepatan penanganan menjadi tantangan tersendiri,” tegasnya.
Selain masalah internal, laporan pengaduan bagi pelapor dari daerah juga menjadi perhatian serius. Selama ini, masyarakat dari wilayah jauh seperti Papua harus mendatangi kantor pusat di Jakarta hanya untuk menyerahkan laporan. Oleh karenanya, untuk meningkatkan pelayanan, DKPP mengharapkan adanya izin untuk menghadirkan kantor perwakilan di wilayah strategis.
“Kalau diizinkan, kantor DKPP dihadirkan di Papua dan Sulawesi untuk memberi pelayanan lebih dekat kepada masyarakat,” kata Heddy.
Diantara gagasan progresif yang ditawarkan adalah perluasan subjek yang bisa diperiksa oleh DKPP. Saat ini, DKPP hanya berwenang memeriksa penyelenggara pemilu (KPU dan Bawaslu). Namun, melihat fenomena pergeseran hasil suara yang sering kali melibatkan interaksi dengan peserta pemilu, muncul usulan untuk mengubah nama menjadi Dewan Kehormatan Pemilu (DKP).
“Ke depan harus kita pikirkan, apakah DKPP harus hilangkan ‘P’ satu (Penyelenggara), jadi Dewan Kehormatan Pemilu? Agar peserta pemilu juga bisa kita periksa,” kata Heddy.
Langkah ini dinilai penting karena budaya demokrasi di Indonesia masih dibayangi oleh praktik politik uang yang dianggap biasa oleh sebagian besar masyarakat. Menurut Heddy, penegakan etik sesuai amanat TAP MPR harus dilakukan secara akuntabel dan terbuka di semua lini pemerintahan, bukan hanya di lingkungan penyelenggara pemilu saja.
Penentuan posisi DKPP di masa depan apakah tetap mandiri atau di bawah kementerian terkait itu akan sangat bergantung pada pembahasan UU Pemilu mendatang. Namun yang pasti, penguatan kode etik dianggap sebagai kunci utama untuk memajukan kualitas demokrasi Indonesia.
Untuk diketahui, kegiatan diskusi terbatas ini diadakan untuk menghimpun masukan dari sejumlah kelompok pemangku kepentingan ( stakeholder ) terkait kelembagaan DKPP.
Diskusi ini melibatkan sejumlah narasumber. Yaitu, Anggota Komisi II DPR RI, Mardani Ali Sera; Direktur Ideologi Kebangsaan, Politik, dan Demokrasi Kementerian PPN/Bappenas, Nuzula Anggeraini; Asisten Deputi Kordinator Demokrasi dan Kepemiluaan Kemenko Polkam, Haryadi; dan perwakilan Badan Pusat Statistik, Agus Pramono. (HUMAS DKPP).


