Surabaya,
DKPP – Perubahan
regulasi kepemiluan melalui pemberlakuan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017
tentang Pemilihan Umum mengharuskan DKPP melakukan penyesuaian baik pada aspek
organisasi maupun regulasi. Langkah nyata yang diinisiasi terkait organisasi
antara lain menyusun peraturan mengenai Tim Pemeriksa Daerah (TPD), sementara
yang berkenaan dengan regulasi antara lain adalah melakukan penyempurnaan
terhadap peraturan mengenai kode etik dan pedoman perilaku penyelenggara
Pemilu, dan pedoman beracara kode etik penyelenggara Pemilu.
Selain
stake holder penyelenggara pemilu
yakni KPU dan Bawaslu provinsi DKPP juga mengundang 38 KPU dan Panwas kab/kota
di Provinsi Jawa Timur, perguruan
tinggi, akademisi/dosen dan mahasiswa. DKPP juga mengundang anggota TPD
Provinsi Jawa Timur, pimpinan pemerintah daerah, tokoh masyarakat, pengurus
parpol, ormas, LSM, dan media.
Tri
Dharma Perguruan Tinggi mengamanatkan peran akademisi dalam pendidikan,
penelitian, dan pengabdian masyarakat. Artinya, mahasiswa dan dosen juga
memiliki tanggung jawab dalam berkontribusi positif membangun bangsa dan
mengawal dinamika sosial yang terjadi di Indonesia, termasuk pemilu, dengan memanfaatkan kapasitas akademis dan
pengetahuannya dalam bidang masing-masing.
Dengan
demikian, kalangan akademisi tidak menutup mata dan dituntut untuk memegang peranan
penting sebagai salah satu garda terdepan penjaga akuntabilitas pelaksanaan
Pemilu. DKPP juga mengundang anggota TPD Provinsi Jawa Timur, pimpinan
pemerintah daerah, tokoh masyarakat, pengurus parpol, ormas, LSM, dan media.
Tujuannya agar mereka lebih aware
terhadap pentingnya isu etika penyelenggara pemilu dan penegakannya.
Sosialisasi
kepada LSM, Ormas, Parpol juga penting
dilakukan karena para kandidat akan memakai segala cara untuk menang.
Potensi konflik kepentingan penyelenggara juga sangat besar sebab penyelenggara
pemilu di daerah berhubungan langsung dengan para pihak berkepentingan
(stakeholders) seperti parpol, birokrasi pemda dan kelompok pemodal, sehingga
dapat berpengaruh pada kemandirian dan integritas mereka.
Kondisi
semakin rentan jika kandidat berasal dari kepala daerah incumbent berupaya mengintervensi independensi pejabat publik di
daerah dengan kekuasaan yang dimilikinya, termasuk penyelenggara pemilu. Karena
itu penting bagi LSM, Ormas dan Parpol peserta pemilu untuk mengerti dan paham
soal kode etik dan pedoman perilaku penyelenggara serta pedoman beracara kode etik
penyelenggara pemilu.
Harjono menyadari bahwa
semua anggota penyelenggara pemilu, baik Bawaslu maupun KPU hingga jajaran daerah telah mengorbankan
hak-hak politiknya untuk mendukung salah satu kontestan pemilu. “Sebagai
anggota penyelenggara pemilu mereka harus ikhlas bertindak netral tidak
mendukung siapa pun peserta pemilu atau pilkada. Karena itu kami harapkan
mereka punya komitmen yang kuat untuk menjaga integritasnya,†kata Harjono.
Melalui
sosialisasi DKPP mencoba mengubah
paradigma bahwa banyaknya pengaduan yang masuk dan perkara yang diputus bukan
lagi menjadi tolak ukur prestasi kinerjanya. Tolak ukur keberhasilan adalah
pengaduan berkurang karena para penyelenggara Pemilu sudah mengerti dan paham
akan etika.
DKPP berharap Pilkada 2018 dan Pemilu 2019 berlangsung jujur, adil,
bermartabat dan demokratis. Para penyelenggara di daerah
dapat menjaga integritas dan kehormatannya. Penyelenggara pemilu harus mampu menjaga setiap kandidat memperoleh perlakuan yang adil dari penyelenggara, tidak satupun suara rakyat
hilang pada waktu proses pemungutan dan penghitungan suara.
Penyelenggara dan
masyarakat juga memberi pendidikan pemilih supaya pemilih kita dapat memilih
secara rasional. Dengan demikian dapat dihasilkan kepala daerah yang
berkualitas dan hasil Pilkada juga dapat diterima oleh masyarakat. Kepala daerah yang berkualitas akan berupaya
memajukan dan meningkatkan kesejahteraan
masyarakat. [Diah Widyawati_2]