Jakarta, DKPP – Anggota Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), Dr. Alfitra Salamm mengungkapkan bahwa berdasar amanat undang-undang, putusan DKPP bersifat final dan mengikat (final and binding).
Sifat putusan ini, kata Alfitra, telah diatur oleh undang-undang sejak DKPP berdiri. Yang paling baru adalah Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 Pasal 458 Ayat (13) tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu).
Kendati demikian, Alfitra memandang saat ini terdapat problem tersendiri karena mulai ada kecenderungan untuk melanggar undang-undang.
“Problematika sekarang putusan DKPP, yang final and binding, di-challenge melalui PTUN,” katanya.
Problem ini disampaikan Alfitra saat menjadi narasumber dalam webinar bertemakan “Tantangan Mewujudkan Keadilan Pemilu pada Penyelenggaraan Pemilu Serentak 2024” yang diadakan Bawaslu Kabupaten Bantul, Jumat (13/8/2021).
Webinar ini juga diisi oleh sejumlah tokoh, yaitu Anggota KPU RI 2001-2007 Chusnul Mar’iyah, Anggota Komisi II DPR Zulfikar Arse Sadikin, dan Anggota Bawaslu RI Rahmat Bagja.
Ia menegaskan bahwa putusan DKPP yang bersifat final dan mengikat ini sedang menghadapi tantangan serius.
Karenanya, problematika ini harus segera diakhiri serta semua pihak harus menghormati dan menaati UU Pemilu.
“Kalau ini terus dilakukan dan terus diakui oleh negara, saya meyakini bahwa proses demokrasi kita akan semakin rusak. Saya kira penegakkan hukum harus dijalankan sesuai undang-undang,” terang pria yang juga menjabat sebagai Ketua Umum AIPI ini.
Selain itu, Alfitra juga memandang bahwa Indonesia memiliki terlalu banyak pintu yang digunakan para pencari keadilan dalam hal kepemiluan.
Pintu-pintu tersebut bukan hanya DKPP dan Bawaslu saja, tapi juga ada MK, MA, bahkan PTUN, polisi dan kejaksaan.
Ia berpendapat bahwa banyaknya pintu yang terbuka justru akan membuat proses penegakkan keadilan pemilu semakin panjang dan tumpang tindih sehingga justru akan menjadi beban.
“Jadi saya melihat perjalanan panjang dalam mencari keadilan pemilu di Indonesia patut dievaluasi,” tutup Alfitra. [Humas DKPP]