Jakarta, DKPP – Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) menggelar sidang pemeriksaan dengan Teradu Theodorus Kossay, Tarwinto, Melkianus Kambu, Zufri Abubakar, Diana Dorthea Simbiak, Fransiskus Antonius Letsoin dan Zandra Mambrasar di Ruang Sidang DKPP, Gedung Bawaslu RI, Jakarta, Rabu (13/2/2019). Ketujuh orang tersebut adalah Ketua dan Anggota KPU Provinsi Papua.
Sidang ini adalah siding kedua terkait perkara nomor 2-PKE-DKPP/I/2019 yang diadukan oleh Hugo Alvian Imbiri. Sidang pertama dilaksanakan di tempat yang sama pada 23 Januari 2019 lalu.
Dalam sidang ini, majelis menekankan pertanyaan kepada Tarwinto, selaku Teradu II. Ia diketahui tidak menghadiri sidang pertama pada 23 Januari 2019 karena mengaku mendapat tugas dari Ketua KPU Provinsi Papua, Theodorus Kossay.
Dalam sidang pertama, Pengadu menghadirkan saksi bernama Gianto. Gianto memberikan bukti berupa foto dari percakapan antara dirinya dengan Tarwinto melalui aplikasi Whats App. Percakapan ini terkait dugaan adanya gratifikasi dan suap yang diterima oleh Tarwinto pada beberapa waktu lalu.
Saat itu, Gianto menyebut bahwa dirinya telah menyepakati sejumlah nominal uang dengan Tarwinto yang diduga diperuntukkan guna seleksi anggota KPU Kabupaten Lanny Jaya, Papua pada beberapa waktu lalu.
Uang ini diduga untuk meloloskan salah seorang oknum sebagai anggota KPU Lanny Jaya. Menurut Gianto, uang yang rencananya diberikan kepada Tarwinto ini rencananya juga akan diberikan kepada oknum dari KPU RI.
“Saya menyangkal apa yang sudah disampaikan oleh Saudara Gianto,” kata Tarwinto kepada majelis sidang.
Tarwinto tidak memberikan penjelasan yang gamblang ketika dihadapkan kepada alat bukti berupa foto yang berisi percakapan antara dirinya dengan Gianto.
“Saudara sudah lihat screenshot-nya? Mana yang benar dan tidak benar dari alat bukti ini?” tanya anggota majelis, ALfitra Salamm kepada Tarwinto.
Awalnya, ia bahkan tidak mengakui telah melakukan komunikasi dengan Gianto sebagaimana digambarkan dalam alat bukti. Padahal, nomor telepon yang terdapat dalam foto itu telah diverifikasi pada sidang sebelumnya dan diketahui sebagai nomor telepon dari Tarwinto
“Saat sidang pertama saya bertanya apa betul ini nomor Saudara Tarwinto. Saya tanya ke Ketua KPU Papua, dia membenarkan kalau nomor tersebut adalah nomor anda. Pertanyaan saya, apakah ada kemungkinan nomor anda dikloning?” tanya anggota majelis sidang lainnya, Prof. Teguh Prasetyo.
“Kalau soal itu, ahli IT mungkin lebih paham, Yang Mulia,” jawab Tarwinto.
Ia menambahkan, dirinya tidak pernah ingat pernah kehilangan ponsel dalam beberapa bulan terakhir. Sebagaimana diketahui, dalam alat bukti, percakapan antara Tarwinto dengan Gianto terjadi pada awal November 2018.
Dalam percakapan itu, Tarwinto diduga membicarakan tentang transaksi keuangan dengan Gianto. Tarwinto bahkan meminta sebuah tiket pesawat untuk terbang ke Jakarta kepada Gianto.
Tak hanya itu, masih dalam alat bukti, Tarwinto juga mengatakan, “Yang untuk KPU RI sudah dibicarakan?”.
“Dalam alat bukti ini, ada kalimat ‘Enggak enak dengan kawan-kawan yang lain’. Itu siapa yang nulis,” tanya anggota majelis sidang lainnya, Ida Budhiati.
“Saya, Yang Mulia,” jawab Tarwinto.
“Nah apa maksudnya anda menulis begini?” lanjut Ida.
“Saya juga enggak ngerti kenapa waktu itu nulis seperti ini,” ujar Tarwinto kembali menjawab pertanyaan Ida.
“Untuk perkara 311 teradunya Pak Hasyim dan Pak Arief, cabut saja. Pengaduan yang terlibat Parpol saja yang diteruskan,” kata Ida membacakan pesan Tarwinto dalam alat bukti.
“Jangan KPU RI yang jadi sasaran tembak. Kalau mau menghabisi Yuli Kogoya dan Yetron, cukup pengaduan untuk mereka terlibat parpol saja yang diteruskan. Kalau KPU RI diadukan, saya keseret-seret,” lanjut Ida masih membacakan pesan yang sama.
“Itu betul saudara yang menulis,” tanya Ida.
“Kalau untuk yang perkara 311 itu benar, Yang Mulia,” jawab Tarwinto.
Selanjutnya, majelis sidang menanyakan istilah-istilah yang digunakan Tarwinto dalam percakapan yang terdapat dalam alat bukti, di antaranya adalah istilah “jaringan” dan “goreng”. Mendapat pertanyaan demikian, ia beralasan bahwa istilah yang digunakannya merupakan istilah yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari di Papua.
Majelis hakim pun bertanya kepada Teradu I yang juga Ketua KPU Provinsi Papua, Theodorus Kossay. Theodorus pun menyanggah alasan yang digunakan oleh Tarwinto.
Sebagai informasi, percakapan yang terjadi antara Tarwinto dengan Gianto diduga terjadi pada 8-9 November 2018. Hal ini mengacu pada waktu yang tergambar pada foto yang menjadi alat bukti persidangan.
Gianto sendiri diketahui telah mencabut kesaksiannya melalui surat pernyataan yang disertai materai 6.000 yang ditandatanganinya pada 6 Februari 2019, atau tujuh hari sebelum sidang ini dilaksanakan.
Namun demikian, Ketua majelis Harjono mengatakan bahwa proses persidangan kode etik berbeda dengan proses persidangan perdata yang memperjuangkan hak pribadi seseorang. Dalam acara hukum perdata, pencabutan kesaksian dapat diterima lantaran proses hukum yang berlangsung sangat tergantung pada hak pribadi Pengadu atau Penggugatnya.
Menurutnya, hal yang sama tidak dapat berlaku dalam proses hukum kode etik seperti yang dijalankan oleh DKPP. Sidang kode etik yang dilakukan DKPP, lanjut Harjono, sangatlah mengutamakan marwah dari sebuah lembaga penyelenggara Pemilu, baik KPU maupun Bawaslu dengan tujuan meraih kepercayaan dari publik.
“Pencabutan kesaksian tidak dapat diterima. (Kesaksian) itu tetap dianggap sebagai bagian sidang. Kalau dia memberi kesaksian palsu, nanti bisa dilanjutkan dalam ranah pidana, ke pemalsuan atau pencemaran nama baik,” jelas pria yang menjabat sebagai Ketua DKPP ini.
Sementara itu, anggota KPU RI, Evida Novida Ginting sangat menyayangkan dugaan percakapan antara Tarwinto dengan Gianto karena dapat mencemarkan nama baik lembaganya.
“Kami berharap majelis bisa menegakkan marwah KPU yang telah tercoreng dalam alat bukti yang dibawa Pengadu,” kata Evida. Jalannya sidang pemeriksaan dapat disaksikan melalui live streaming Facebook DKPP, https://www.facebook.com/medsosdkpp/videos/732692683791899/ [Wildan]