Jakarta, DKPP – Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) memeriksa enam penyelenggara Pemilu Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) dalam sidang pemeriksaan dugaan pelanggaran kode etik penyelenggara Pemilu untuk perkara nomor 261-PKE-DKPP/VIII/2019 dan 270-PKE-DKPP/VIII/2019 pada Jumat (27/9/2019).
Enam penyelenggara tersebut terdiri dari lima komisioner KPU Provinsi NTT dan seorang Anggota KPU Kabupaten Ngada.
Lima komisioner KPU Provinsi NTT adalah sang Ketua, Thomas Debu serta empat Anggotanya, yaitu Yosafat Koli, Fransiskus Vincent Diaz, Yefri Amazia Gala dan Lodowyk Fredik. Kelimanya berstatus sebagai Teradu dalam perkara nomor 261-PKE-DKPP/VIII/2019, yang diadukan oleh Nabopalasar ST Bansae.
Sedangkan Anggota KPU Kabupaten Ngada, Aloysius Raubata, berstatus sebagai Teradu dalam perkara nomor 270-PKE-DKPP/VIII/2019, yang diadukan oleh Fransiskus Xaverius Galing.
Dua perkara ini disidangkan dalam satu persidangan yang dilaksanakan melalui sambungan video yang menghubungkan antara Ruang Sidang DKPP, Jakarta, dengan Kantor Bawaslu Provinsi NTT, Kupang.
Majelis sidang terdiri dari Anggota DKPP, Rahmat Bagja selaku Ketua Majelis bersama Tim pemeriksa Daerah (TPD) Provinsi NTT sebagai Anggota Majelis, yaitu Dari bawaslu Thomas Mauritius Djawa (unsur Bawaslu) dan Gadrida Rosdiana (unsur masyarakat).
Dalam pokok aduannya, Nabopalasar ST Bansae selaku Pengadu perkara 261-PKE-DKPP/VIII/2019, menduga para Teradu telah meloloskan calon anggota legislatif (Caleg) yang tidak memenuhi syarat karena berstatus sebagai PNS aktif.
Menurut Nabopalasar, lolosnya Caleg tersebut diduga untuk memenuhi kuota Caleg perempuan dari salah satu partai politik di Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), Provinsi NTT.
Ia menambahkan, dirinya yang menjadi Wakil Ketua I DPD Partai Berkarya Kabupaten TTS, sudah mengajukan keberatan kepada KPU Kabupaten TTS terkait status Caleg sebagai PNS. Caleg tersebut berinisial NAN dan merupakan Caleg DPRD Provinsi NTT.
Baca Juga: DKPP Periksa Anggota KPU NTT
Namun, KPU Kabupaten TTS menyatakan bahwa hal ini bukan kewenangannya dan menyarankan Nabopalasar untuk melaporkan kepada Bawaslu Kabupaten TTS.
Setelah melakukan saran di atas, ia pun melaporkan hal ini kepada Bawaslu Kabupaten TTS dan Bawaslu Provinsi NTT. Oleh Bawaslu Provinsi NTT, perkara ini dianggap telah memenuhi unsur pelanggaran kode etik penyelenggara Pemilu.
“Tanggal 13 Juni 2019, Bawaslu NTT menerbitkan surat pemberitahuan tentang status laporan kepada DKPP RI di Jakarta,” kata Nabopalasar dalam sidang.
Selain itu, tambahnya, Partai Berkarya juga telah bersurat kepada BKKBN Provinsi NTT, yang diduga menjadi instansi NAN bernaung. Dalam surat bertanggal 11 Juni 2019, BKKBN Provinsi NTT mengakui bahwa NAN masih berstatus sebagai PNS yang bekerja di bawah naungan BKKBN Provinsi NTT.
Masih dalam surat tersebut, NAN disebut memiliki jabatan fungsional sebagai Penyuluh Keluarga Berencana dengan batas usia pensiun 58 tahun, terhitung mulai tanggal 1 Januari 2019.
“Sebelum 1 Januari 2019, yang bersangkutan (NAN) masih merupakan PNS aktif di BKKBN Provinsi NTT,” kata Nabopalasar.
Sementara itu, Ketua KPU Provinsi NTT, Thomas Dohu membantah dalil-dalil yang disebutkan Pengadu. Ia mengungkapkan bahwa pihaknya telah melaksanakan verifikasi pencalonan Anggota DPRD Provinsi NTT Pemilu 2019 mengacu pada peraturan yang berlaku.
Ketentuan syarat dan kuota 30 persen Caleg perempuan yang diajukan partai politik diatur dalam Pasal 248 dan 249 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu (UU Pemilu).
Namun, menurut Thomas, syarat ini hanya berlaku pada saat tahapan pendaftaran dan verifikasi saja. Sehingga, tegasnya, syarat yang diatur dalam Pasal 248 dan 249 UU Pemilu tidak berlaku saat Daftar Calon Tetap (DCT) telah ditetapkan.

Anggota DKPP Ex Officio Bawaslu, Rahmat Bagja menjadi Ketua majelis dalam sidang pemeriksaan dugaan pelanggaran kode etik penyelenggara Pemilu untuk perkara 261-PKE-DKPP/VIII/2019 dan 270-PKE-DKPP/VIII/2019 pada Jumat (27/9/2019). Dua perkara ini disidangkan dalam satu persidangan yang dilaksanakan melalui sambungan video yang menghubungkan antara Ruang Sidang DKPP, Jakarta, dengan Kantor Bawaslu Provinsi NTT, Kupang.
Sementara, lanjutnya, berdasar permasalahan yang disebutkan oleh Pengadu, justru terungkap saat rapat pleno terbuka rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara di Tingkat Kabupaten Timor Tengah Selatan, atau jauh hari setelah penetapan DCT. Penetapan DCT Pemilu 2019 sendiri dilakukan pada 20 September 2018.
“Tidak memenuhi syaratnya calon NAN, baru diketahui setelah penetapan DCT,” kata Thomas.
Lebih lanjut, ia juga menjelaskan bahwa NAN telah ditetapkan sebagai terpidana karena telah dengan sengaja membuat surat atau dokumen palsu dengan maksud untuk menjadi bakal calon anggota DPRD Provinsi NTT.
“Telah diputus pada 19 agustus 2019 dengan hukuman empat bulan penjara dan denda Rp 25 juta dengan subsider dua bulan penjara,” imbuhnya.
Ia menambahkan, kelima Teradu perkara nomor 261-PKE-DKPP/VIII/2019 dilantik pada 7 Februari 2019. Sebelumnya, tugas dan kewenangan KPU Provinsi NTT sempat diambil alih KPU RI pada 26 Desember 2018.
Anggota KPU Kabupaten Ngada
Sementara itu, pada perkara Fransiskus Xaverius Galing selaku Pengadu mengadukan Anggota KPU Kabupaten Ngada, Aloysius Raubata karena diduga masih terdaftar dalam struktural sebuah organisasi kemasyarakatan (Ormas) saat masih menjadi Anggota KPU Kabupaten Ngada.
Menurut Fransiskus, Aloysius telah menjabat sebagai Ketua Gabungan Pengusaha Jasa Konstruksi (Gapensi) Kabupaten Ngada dan tidak pernah mengundurkan diri dari jabatan tersebut. Aloysius sendiri diketahui menjadi Anggota KPU sejak dilantik pada Februari 2014.
“Hal ini terbukti dengan keterlibatan Aloysius dalam salah satu kegiatan Muscab V di Hotel Virgo, pada Jumat 17 Maret 2017,” katanya.
Hal ini, jelas Fransiskus, bertentangan dengan Surat KPU RI Nomor 666/SDM.12-12 SD/05/KPU/XI/2017 dan Pasal 21 huruf k UU Pemilu, yang mewajibkan semua Ketua dan Anggota KPU Provinsi maupun Kabupaten/Kota untuk mengundurkan diri dari Ormas.
Aloysius sendiri mengakui bahwa dalil yang disebutkan Pengadu. Ia mengatakan, pada akhir 2017, dirinya memang terpilih lagi menjadi Ketua DPC Gapensi Kabupaten Ngada secara aklamasi.
Namun, menurut Aloysius, usai terpilih secara aklamasi, dirinya berkoordinasi dengan pengurus DPC Gapensi Kabupaten Ngada untuk mendelegasikan seluruh kerja operasional dan tugas keseharian kepada Sekretaris DPC Gapensi Kabupaten Ngada.
“Dan saya sudah tidak lagi terlibat secara aktif dalam kegiatan Gapensi Kabupaten Ngada karena menyadari benar bahwa saya adalah Anggota KPU Kabupaten Ngada yang harus bekerja penuh waktu,” jelasnya.
Kemudian, ia pun mengajukan surat pengunduran diri sebagai Ketua DPC Gapensi Kabupaten Ngada pada 17 September 2018. Surat tersebut ditujukan kepada DPD Gapensi Provinsi NTT.
Dalam sidang perkara 270-PKE-DKPP/VIII/2019 terdapat sejumlah orang yang dihadirkan sebagai Pihak Terkait, yaitu Ketua dan Anggota KPU Kabupaten Ngada serta Ketua dan Anggota KPU Provinsi NTT. [Humas DKPP]