Padang, DKPP – Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) menggelar Rapat Koordinasi Teknis Persiapan Sidang Pemeriksaan Kode Etik Penyelenggara Pemilu Nomor Perkara 70-PKE-DKPP/IV/2019 yang bertempat di Mercure Hotel Padang, pada Minggu (23/6).
Terkait perkara ini, sebelumnya DKPP telah melakukan sidang pertama pada Kamis, 9 Mei 2019 dan pihak Pengadu, April Adek, tidak hadir dalam sidang pemeriksaan tersebut. Teradu, Syufli adalah Anggota KPU Kota Pariaman, Sumatera Barat.
Rakornis ini dibuka oleh Dr. Alfitra Salamm, didampingi oleh Suparmin, Tenaga Ahli DKPP. Hadir sebagai peserta rakornis KPU Provinsi Sumatera Barat, Bawaslu Provinsi Sumatera Barat, TPD Tomas, Polda Sumatera Barat untuk Keamanan dan IT serta jajaran Sekretariat Bawaslu Provinsi Sumatera Barat dan jajaran Sekretariat KPU Provinsi Sumatera Barat.
Untuk diketahui, pelaksanaan Sidang dijadwalkan esok hari, Senin, 24 Juni 2019 pukul 09.00 WIB di Kantor Bawaslu Provinsi Sumatera Barat. Dengan susunan Ketua Majelis sidang Dr. Alfitra Salam, dan Anggota Majelis: M. Mufti Syarfie (TPD Unsur Masyarakat), Surya Efitrimen (TPD Unsur Bawaslu Provinsi), serta Yanuk Sri Mulyani (TPD Unsur KPU Provinsi).
Mengawali paparannya, Alfitra membahas persoalan teknis persiapan sidang dan evaluasi pelaksanaan Pemilu serentak tahun 2019. Menurutnya, sidang DKPP bukan hanya sekadar mencari kesalahan ataupun memberikan sanksi bagi Penyelenggara Pemilu, namun merupakan pendidikan etik bagi Penyelenggara Pemilu yang lain. Penyelenggara lain secara langsung dapat menyaksikan via streaming facebook official DKPP. Dari proses inilah dapat diambil pelajaran bagaimana proses sidang dan sanksi yang diberikan. Sehingga sebelum Penyelenggara diadukan karena diduga melanggar agar senantiasa menjaga perilaku, menjadi warning bagi diri sendiri.
“Proses-proses demokrasi dalam Pemilu harus dijaga dengan etika. Dan, proses preventif lebih penting daripada proses sidang dan pengenaan sanksi bagi pelanggar, sehingga Penyelenggara memahami betul apa yang harus dan layak dilakukan dan apa yang dilarang,” tuturnya.
Sidang kode etik DKPP, lanjut dia, merupakan satu-satunya di Indonesia yang dilakukan secara terbuka untuk umum. Semua fakta dapat disaksikan secara detail, terbuka. Oleh karena itu, semestinya Penyelenggara Pemilu bisa memperhatikan itu. Harapannya, ke depan sidang-sidang etik dari profesi lain juga bisa dilaksanakan secara terbuka, yang selama ini dilaksanakan tertutup. Kemajuan persidangan kode etik Penyelenggara Pemilu itu sangat tinggi, dan merupakan satu-satunya di dunia.
Lebih lanjut Alfitra juga menyampaikan bahwa menghadapi tahapan Pilkada Tahun 2020, Penyelenggara harus mengedepankan prinsip kemandirian. Tantangan Pilkada 2020 lebih serius bagi jajaran penyelenggara di daerah, baik level kabupaten/kota, maupun provinsi.
“Kemandirian Penyelenggara itu penting, harus tegas dan tidak boleh abu-abu, terutama kepada incumbent. Penyelenggara tidak cukup berbuat baik, namun harus terlihat baik. Tidak cukup hanya bertindak independen menurutnya, tapi juga harus terlihat independen di mata publik,” lanjut dia.
Masih menurut Alfitra, usai pelaksanaan Pileg dan Pilpres yang lalu yang bisa dikatakan sukses, maka persiapan pelaksanaan Pilkada Serentak 2020 juga harus lebih dimaksimalkan. Hal ini terutama sebagai upaya pencegahan agar tidak diadukan ke DKPP, seperti misalnya terkait tahapan pencalonan, calon petahana yang melakukan mutasi pejabat 6 (enam) bulan sebelum dan sesudah pelaksanaan Pilkada, yakni Pasal 71 UU Nomor 10 Tahun 2016. Terkait permasalahan mutasi ini harus benar-benar sudah dipertimbangkan segalanya. Laporan yang diterima DKPP terkait ini misalnya dari pihak Bawaslu yang tidak menindaklanjuti. Oleh sebab itu, terhadap persoalan ini, KPU harus tegas, petunjuk teknis mesti jelas. Selain terkait ini, juga tentang persoalan proses pencalonan, apakah dukungan independen atau dukungan parpol.
Selain menyampaikan terkait Pilkada 2020, Alfitra juga menyampaikan evalusi Pemilu Serentak 2019, mulai dari pergeseran suara partai, politik uang, dan rekruitmen KPPS. Menurutnya, pergeseran suara partai meliputi perpindahan suara internal Parpol dan eksternal Parpol. Praktik politik uang juga masih marak terjadi. Terkait politik uang terhadap Penyelenggara Pemilu ini, jika tidak dilaporkan ke Bawaslu agar didorong ke DKPP. Hal berikutnya yang juga dibahas adalah terkait rekrutmen penyelenggara tingkat adhoc yang menjadi sangat krusial, harus serius dan menjadi prioritas karena menjadi kunci utama. Bagaimana pemeriksaan kesehatan pada saat seleksi, termasuk Bimtek terhadap seluruh anggota KPPS.
“Pada Pemilu 2019 kita lalai memperkuat jajaran adhoc yang kemudian menjadi isu nasional. Di masa yang akan datang, birokrasi prosedur demokrasi di hulu, perlu disederhanakan, karena sumber keruwetan ini sehingga menjadi faktor psikis bagi jajaran Penyelenggara dfhoc mulai dari meninggal dunia dan Pemungutan Suara Ulang (PSU)”, tutup Alfitra. [Nur Khotimah]