Jakarta,
DKPP- Putusan
Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), Selasa (17/11), menyatakan bahwa
dua anggota Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) Kota Pematangsiantar, Sumatera
Utara, terbukti melanggar kode etik penyelenggara Pemilu. Oleh DKPP, keduanya
dijatuhi sanksi pemberhentian tetap.
“Menjatuhkan sanksi berupa
Pemberhentian Tetap kepada Teradu II atas nama Manuaris Sitindaon dan Teradu III atas nama
Elpina selaku Anggota Panwas Kota Pematangsiantar sejak dibacakannya Putusan
ini,†berikut petikan amar putusan DKPP dibacakan oleh Anggota Majelis Nur
Hidayat Sardini di ruang sidang DKPP, Jakarta.
Perkara ini diadukan oleh
Zainul Arifin Siregar dari Dewan Pimpinan Cabang Jamiyah Batak Muslim Indonesia
(DPC – JBMI) Kota Pematangsiantar. Dalam pengaduannya, Zainul menengarai Panwas
Pematangsiantar telah melanggar kode etik karena membuat rekomendasi untuk
meloloskan pasangan calon (paslon) Walikota dan Wakil Walikota Pematangsiantar
atas nama Surfenov Sirait dan
Parlindungan Sinaga
yang sebenarnya tidak memenuhi syarat.
Paslon ini diusung oleh Partai
Golkar, tapi hanya mendapat rekomendasi satu kubu dari Aburizal Bakrie. Sesuai
peraturan KPU, bakal paslon dari Golkar harus diusung oleh oleh dua kubu, yakni
kubu Aburizal Bakri dan kubu Agung Laksono. Pada masa pendaftaran, paslon telah
ditolak oleh KPU Pematangsiantar. Ditolak KPU, paslon mengajukan sengketa ke
Panwas. Panwas mengabulkan laporan paslon dan merekomendasikan kepada KPU untuk
menerima pendaftarannya. Rekomendasi Panwas tidak dijalankan oleh KPU.
Penolakan KPU digugat kembali oleh paslon ke Panwas, sehingga keluar lagi
rekomendasi. Rekomendasi kedua tersebut ditindaklanjuti oleh KPU
Pematangsiantar dengan meloloskan paslon.
Dalam jawabannya, Teradu
mengaku telah menjalankan tugasnya sesuai ketentuan yang berlaku. Teradu
merujuk pada UU No 8 Tahun 2015 pasal 143 dan Surat Edaran Bawaslu RI Nomor
0210/Bawaslu/VII/2015 tanggal 31 Juli 2015 terkait kewenangan
sengketa oleh Panwas
Kabupaten/Kota. KPU menurut Teradu seharusnya menerima dahulu pendaftaran
pencalonan baru melakukan penelitian dan verifikasi, bukan sebaliknya.
Keyakinan tersebut juga diperkuat dengan pendapat ahli serta berdasarkan hasil
konsultasi ke Bawaslu Provinsi dan Bawaslu RI.
Namun, DKPP menolak alasan
Teradu. Dalam pertimbangan putusan, DKPP menilai keputusan Panwas memerintahkan
KPU Pematangsiantar melakukan pendaftaran dan verifikasi ulang atas bapaslon
Surfenov Sirait dan Parlindungan Sinaga merupakan keputusan yang sama sekali
tidak didukung dasar hukum dan pembuktian yang benar. Terhadap Peraturan yang
telah jelas, terutama atas dokumen pencalonan dari Partai, sesungguhnya tidak
perlu dan tidak dapat dibawa pada tafsir, apalagi dengan meminta pendapat ahli.
“Bila suatu dokumen tidak ada,
maka tafsir terhadap hal itu pun tidak dibutuhkan supaya segala imajinasi liar
tidak diakomodir, logika tidak
disesatkan, dan nalar dibelokkan,†kutipan pertimbangan putusan DKPP.
Selain dua Teradu yang
merupakan anggota Panwaslu Pematangsiantar, Pengadu juga melaporkan ketuanya, Darwan
Edyanto Saragih. Dalam sidang pemeriksaan, Darwan mengaku berbeda pendapat
dengan kedua anggotanya. Akan tetapi dia kalah kalah suara. Dengan alasan
kolektif kolegial, Darwan akhirnya turut menandatangani keputusan yang
dihasilkan.
DKPP menilai, sikap Darwan
tersebut menunjukkan bahwa dia sudah tidak cakap untuk memimpin, sehingga
berakibat pada pelanggaran kode etik. Dengan penilaian seperti itu, DKPP
menjatuhkan sanksi pemberhentian sementara kepada Darwan sampai keputusan
Panwaslu Pematangsiantar dikoreksi oleh Bawaslu Provinsi Sumatera Utara.
Putusan ini diwarnai pendapat
berbeda (dissenting opinion) oleh
oleh dua orang dari tujuh anggota DKPP, yaitu Ketua DKPP Prof Jimly Asshiddiqie
dan Anggota Saut Hamonangan Sirait. Keduanya tidak setuju dalam amar putusan
ada perintah berupa persyaratan seperti dalam frasa “sampai keputusan Panwaslu
Pematangsiantar dikoreksi oleh Bawaslu Provinsi Sumatera Utaraâ€. Koreksi
terhadap keputusan Panwaslu berarti menganulir paslon Surfenov Sirait dan
Parlindungan Sinaga dari memenuhi syarat menjadi tidak memenuhi syarat.
Prof Jimly dan Saut
berpendapat, kesalahan etis seorang penyelenggara Pemilu tidak seharusnya
mengubah status paslon yang telah ditetapkan. Hak rakyat untuk memilih dan
dipilih tidak dapat dihilangkan sesudah ditetapkan oleh pihak berwenang (bevoeghheid) berdasarkan Undang-undang. Perubahan
status paslon, dapat merusak tertib administrasi pemungutan suara yang
menyulitkan para pemilih untuk
menggunakan haknya sebagai pemilik
kedaulatan rakyat yang justru seharusnya dilayani dengan sebaik-baiknya
oleh penyelenggara pemilu.
Namun, dissenting opinion tersebut tidak menjadi putusan DKPP. Putusan
DKPP yang final dan mengikat adalah putusan yang disetujui mayoritas anggota
dan telah dibacakan dalam sidang putusan. Sidang putusan diadakan di ruang
sidang DKPP, Jakarta. Majelis diketuai oleh Prof Jimly Asshiddiqie didampingi
lima Anggota yaitu Saut Hamonangan Sirait, Nur Hidayat Sardini, Valina Singka
Subekti, Prof Anna Erliyana, dan Ida Budhiati. (rilis humas DKPP)