Jakarta,
DKPP- Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), kembali gelar perkara
dugaan pelanggaran kode etik dari ketua dan anggota KPU dan Bawaslu Prov. Kep.
Bangka Belitung (Babel), Kamis (21/4). Ini merupakan sidang pemeriksaan kedua,
setelah sebelumnya digelar
pemeriksaan pertama dengan
agenda pembacaan dalil aduan dari Pengadu dan mendengarkan jawaban Teradu, Kamis (25/2).
“Harapan
kita ini sidang terakhir, setelah ini sidang pembacaan putusan,†tutur Prof
Jimly yang bertindak sebagai Ketua Panel Majelis Sidang DKPP.
Sebelum
membuat keputusan, lanjutnya, kami merasa perlu mengadakan sidang sekali lagi
sebagai upaya memberi kesempatan semua pihak untuk membuktikan dan meng-counter bukti.
DKPP
juga telah melakukan investigasi terkait perkara nomor 41/DKPP-PKE-V/2016 ini
dengan datang langsung ke Provinsi Kep. Babel, Jum’at (8/4).
Selanjutnya,
untuk mendapatkan solusi terkait perkara ini, dalam pemeriksaan yang bertempat
di ruang sidang DKPP, Jakarta dihadirkan pihak terkait yakni Deddi Wijaya.
Deddi Wijaya merupakan Caleg terpilih yang dipermasalahkan oleh Pengadu karena
dinilai tidak memenuhi syarat sebagai Caleg pada Pileg 2014. Namun diloloskan
oleh KPU sehingga dapat mengikuti proses tahapan pencalonan dan dinyatakan
caleg terpilih dengan nomor SK Nomor 50/Kpts/KPU-Prov-009/Tahun 2014 karena
memperoleh suara terbanyak.
“Kami
ingin tegaskan terkait keberadaan Deddi Wijaya. Ketika proses pencalonan
saudara Deddi Wijaya mengisi form yang menyatakan bahwa dirinya tidak pernah
dipidana. Kemudian itulah yang menjadi persyaratan dan dia lolos dalam menjadi
Caleg,†papar Saleh selaku kuasa hukum dari Pengadu yakni Heryawandi.
Surat
itu, lanjut dia, terbantahkan dengan adanya pengaduan dari masyarakat yang
membuktikan bahwa Deddi Wijaya pernah menjalani hukuman pidana.
“Ini
dipermainkan oleh teradu I sampai dengan V yakni ketua dan anggota KPU Provinsi
Babel karena calon yang tidak memenuhi syarat ini lolos dan mengikuti tahapan
akhirnya dilantik,†imbuhnya.
Lebih
jauh, Saleh menjelaskan bahwa peristiwa tersebut erat kaitannya dengan
rekomendasi dari teradu VI hingga VIII yakni ketua dan anggota Bawaslu Provinsi
Kep. Babel.
“Surat
rekomendasi sebagai hasil pleno dari Teradu VI hingga VIII ini yang sebenarnya
menjadi buah persoalan sebenarnya majelis, karena seolah-olah pelanggaran
administratif padahal ini juga yang dijadikan dasar oleh Saudara Deddi Wijaya
untuk mengurus surat keterangan pernah menjalani hukuman penjara. Ini menjadi
ganda dimana satu sisi menyatakan tidak pernah dipenjara, ketika ada
rekomendasi menyatakan pernah dipenjara,†tegas Saleh.
Usai
mendengar garis besar dalil aduan Pengadu, pihak terkait yakni Deddi Mulyana
menjelaskan peristiwa yang dialaminya dihadapan ketua dan anggota panel majelis
sidang DKPP, yakni Prof Jimly Asshiddiqie, Prof Anna Erliyana, Valina Singka
Subekti, Nur Hidayat Sardini, Saut Hamonangan Sirait, Ida Budhiati serta Endang
Wihdatiningtyas. Juga Pengadu yakni Heryawandi bersama dengan kuasa hukumnya
Saleh serta Teradu ketua dan anggota KPU dan Bawaslu Provinsi Kep. Babel. Deddi
Mulyana dalam keterangannya mengaku bahwa dirinya telah terdzolimi.
“Saya
diminta oleh DPD II partai Golkar untuk ikut mencalonkan diri. Ketika mengisi
formulir, saya sudah bertanya kepada DPD II partai Golkar form mana yang harus
saya isi antara form BB1 dan form BB2,†ujar Deddi.
Menurutnya,
dia disarankan untuk mengisi form BB1 karena hukuman pidana yang dijalaninya
tidak lebih dari lima tahun. Selain bertanya kepada pengurus DPD II partai
Golkar, dia juga bertanya kepada anggota KPU dan Panwas Kab. Bangka Barat
mengenai form tersebut. Dia menyampaikan bahwa jawaban dari anggota KPU dan
Panwaslu sama yakni mengisi form BB1 karena hukumannya tidak lebih dari lima
tahun.
“Oleh
KPU saya ditetapkan sebagai calon dan kemudian saya terpilih dengan mendapat
suara terbanyak. Kemudian saya mendapat surat pemberitahuan dari DPD I partai
Golkar Babel beliau menyatakan ini ada surat dari KPU dan Bawaslu pada tanggal
12 September. Dalam surat itu, saya diminta untuk melengkapi syarat
administrasi lagi,†imbuhnya.
Memenuhi
surat tersebut, Deddi inisiatif menyerahkan surat keterangan dari lapas
tempatnya menjalani hukuman pidana untuk diberikan kepada KPU, tertanggal 17
September 2014. Namun, pada tanggal 22 September 2014 KPU menyelenggarakan
pleno dan dirinya dinyatakan Tidak Memenuhi Syarat (TMS). Tanggal 23 September
2014 ada surat yang ditujukan untuk Mendagri, Pimpinan DPRD dan KPU RI meminta pembatalan
pelantikan dirinya yang dikeluarkan oleh KPU, juga meminta proses PAW.
“Saya
ajukan gugatan ke PTTUN di Palembang dan hasilnya seluruh gugatan dikabulkan.
Pihak KPU mengajukan banding ke PTTUN Medan, hasilnya banding ditolak. KPU
melakukan kasasi di MA, tanggal 19 Februari 2016 hasilnya kasasi dari KPU
ditolak,†jelas Deddi. [Irmawanti]