Purwokerto, DKPP – Anggota Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), Dr. Alfitra Salaam menjadi salah satu pembicara dalam Musyawarah Nasional Asosiasi Program Studi Ilmu Politik Indonesia (APSIPOL) II Tahun 2019, dengan tema “Refleksi Pemilu 2019, Wajah Demokrasi Indonesia”, di Purwokerto, pada Senin (5/8). Orasi ilmiah dan forum diskusi ini dimoderatori oleh Andi Ali Said Akbar. Pembicara lain, Dr. Nur Hidayat Sardini, anggota DKPP periode 2012-2017.
Mengawali paparannya, Alfitra menyampaikan bahwa baik AIPI (Asosiasi Ilmu Politik Indonesia) maupun APSIPOL sebagai organisasi profesi harus dapat bersinergi dengan baik. Melalui musyawarah nasional ini, dia berharap ada satu kebulatan tekad untuk mengembangkan kurikulum baru.”Melalui seminar forum ini dapat dikembangkan kurikulum yang baku, melahirkan ruang baru yang dapat dikembangkan dan diprogramkan seperti digitalisasi ilmu politik, dan ini butuh kerja sama dari dua organisasi profesi,” ungkap Alfitra.
Kemudian, Alfitra menyampaikan beberapa catatan terhadap pelaksanaan Pemilu 2019 sebagai evaluasi dan refleksi. Hipotesis yang pertama adalah bahwa keserentakan mengurangi kualitas demokrasi karena sebagian besar tidak fokus dalam Pemilu 2019. Beberapa Parpol banyak yang mengeluh terhadap keserentakan ini sebab semua masyarakat hanya fokus pada Pilpres, sementara Pileg tidak begitu diperhatikan. Masyarakat juga tidak secara serius menilai kualitas calon-calon legislatif.
Masih menurut Alfitra, bahwa problematik berikutnya bukan terkait desain, melainkan teknisnya, bagaimana logistik surat suara zigzag, tidak ada zonasi. Sehingga beberapa daerah mengalami keterlambatan karena jauhnya wilayah dari percetakan dengan daerah pemilihan. Zonasi percetakan ini tidak beratur dengan baik. Kemudian, mengenai perpindahan suara, atau penggelembungan suara, atau pencurian suara, yang sebagian besar terjadi pada level kecamatan, meskipun berawal di TPS. “Kualitas SDM di level adhoc paling lemah sehingga kerumitan lebih tinggi, mulai dari persoalan regulasi hingga teknis, dan ini menjadi kendala yang sangat serius,” tutur dia.
Kendala inilah, lanjut dia, yang kemudian menelan korban. Dalam UU dikatakan bahwa Pemilu harus selesai pemungutan, namun problemnya ada di proses penghitungan. Dan hal ini tidak diprediksi sebelumnya. Tidak diantisipasi bekerja sampai 30 jam untuk penghitungan, di UU tidak ada dibahas tentang istirahat, tidak ada shift/pergantian. Belum lagi regulasi bagi level adhoc sangat rumit, tekanan dari berbagai pihak, menyebabkan tingkat stres yang tinggi, serta konsumsi kopi dan rokok.
Dalam rangka perekrutan jajaran penyelenggara ini, Alfitra menyarankan untuk menggandeng kalangan mahasiswa menjadi petugas KPPS, dapat dikatakan sebagai kuliah kerja pemilu, atau pengabdian masyarakat. Dan bisa juga dari kalangan guru, sebagai bentuk kerjasama dengan PGRI, untuk mencari petugas di kelurahan atau kecamatan. Menurut dia, perkara yang disidang di MK, sumbernya di hulu yakni SDM yang lemah. Catatan berikutnya adalah terkait perubahan sistem pemilu, misal sistem distrik yang pernah diusulkan, tapi kemudian ditentang banyak parpol sehingga belum bisa dilaksanakan. Kedua harus ada pemisahan antara pemilu legislatif dan eksekutif, atau dipisahkan berdasarkan regional, daerah dulu, baru pusat. [nk]