Yogyakarta, DKPP – Anggota Dewan Kehormatan
Penyelenggara Pemilu (DKPP), Dr. Valina Singka Subekti, M.Si., didaulat sebagai
Narasumber dalam acara Bedah Buku “Partai Syarikat Islam Indonesia : Kontestasi
Politik hingga Konflik Kekuasaan Elite†di Gedung Pasca Sarjana Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta pada Selasa (8/12). Buku ini merupakan pengembangan skripsi
dari Valina 30 tahun silam.
Dalam sambutannya, Valina menguraikan alasan dibukukannya
skripsi tentang Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) ini. “Meskipun merupakan
partai Islam tertua di Indonesia, PSII memberi kejelasan visi politik yakni
kemerdekaan Indonesia melawan penjajahan Belanda saat itu. Dalam sejarah
perkembangannya sangat relevan dengan dinamika kepartaian saat ini,†urainya.
Relevan dan kontributif terhadap problem partai-partai
saat ini, lanjut Valina, terkait konflik internal, sistem rekrutment dan
kaderisasi, ideologi versus pragmatisme, artikulasi politik yang belum optimal,
oligarki kepemimpinan, dan transparansi tata kelola administrasi keuangan.
Untuk diketahui bahwa PSII, awalnya bernama Syarikat
Dagang Islam, didirikan pada 16 Oktober 1905 di Surakarta. Kemudian tahun 1912
berubah nama menjadi Syarikat Islam. Pendirinya adalah Haji Samanhudi. Kemudian
pada Tahun 1920 PSII mengalami konflik internal hingga berujung perpecahan
menjadi dua kubu, yakni SI dibawah HOS Tjokroaminto
dan SI dibawah Semaun.
“Pecahnya PSII mirip dengan dinamika kepartaian saat
ini, kelemahan organisatoris dalam pengelolaan konflik elit internal partai.
Anggota yang tidak terima dengan keputusan partai kemudian “mutung†dan
mendirikan partai baru yang merupakan sempalan dari partai lama. Potret yang
ditampilkan adalah konflik internal partai masing-masing dan ketidakmampuan
mengatasi konflik,†tegasnya.
Penyebab konflik secara internal, lanjut Valina, yakni
struktur sosial yang bersifat petronase atau patron-client. “Petronase yang
dimaksud disini adalah dimana kewibawaan tokoh tertentu yang bersifat
sentralistik. Karena sistem petronase inilah maka intervensi dari luar semakin
mudah. Terhambatnya regenerasi atas tuntutan profesionalitas dan kemampuan
teknokratis, sebab anak-anak muda yangg direkrut tidak semua gemblengan didalam
tubuh PSII sehingga diantara mereka memiiki perbedaan pemikiran dan kultur,â€
terangnya.
Didalam Perekrutan
timbul konflik, lanjut Valina, disatu pihak, PSII tidak mampu menampung
progresivitas, anak-anak muda tidak memiliki
tradisi yang sama, seperti penghormatan terhadap patron khususnya keluarga
Tjokroaminoto. “Puncaknya adalah kemenangam anak muda untuk mengambil kekuasaan
pada tahun 1972. Hal ini disebabkan kepemimpinan anak muda yang direkrut sebelumnya
telah berhasil mengambil hati dan didukung oleh pengurus daerah,†urainya.
Sementara, lanjut Valina, sistem patronase masih bertahan terutama oleh generasi tua dengan
menempatkan keluarga Tjokroaminoto di dalam posisi tertinggi. Di sisi lain, kelompok anak muda juga timbul persaingan dengan
memanfaatkan sistem patronase
tersebut untuk merebut kekuasaan partai. Kelompok ini dipelopori oleh Gobel yang
sesungguhnya direkrut dari kalangan nontradisinal.
“Faktor kedua adalah kebijakan rejimentasi politik
Orba, restrukturisasi fusi parpol, dari 73 parpol kedalam 3(tiga) parpol.
Sementara, faktor eksternal karena
penetrasi kelompok komunis dan kontelasi politik internasional yang
menguntungkan kelompok komunis,†tutupnya. [Nur Khotimah]