Yogyakarta,
DKPP – Setiap warga negara dijamin
kebebasannya untuk berpendapat,
berserikat dan berkumpul oleh UUD 1945.
Tetapi jika seseorang telah
menjadi penyelenggara pemilu artinya dia yang rela mengorbankan kebebasannya
demi Pemilu independen dan bermartabat. Demikian Ketua Dewan Kehormatan
Penyelenggara Pemilu (DKPP), Dr. Harjono saat menyampaikan materi Kode Etik
pada Training Of Trainer (TOT) bagi fasilitator Bawaslu Provinsi dalam Rangka
Bimbingan Teknis Bawaslu Kabupaten/Kota Tahun 2018 di Indoluxe Hotel, Jogjakarta
Jumat (31/8). Kegiatan ini diikuti oleh 82 peserta dari 15 provinsi se-Indonesia.
Acara ini juga dihadiri Ketua Bawaslu RI, Abhan.
“Biasanya kode etik ini
berkaitan dengan sebuah profesi. Profesi-profesi yang begitu ketat sekali
sehingga putusan-putusan itu digantungkan pada beberapa orang saja. Sumpah kode
etik yang tertua itu adalah untuk profesi dokter dan profesi sarjana hukum,â€
Harjono mengawali paparannya.
“Kode etik berkembang, apapun
bentuknya. Misalnya pers juga mempunyai kode etik. Ada Dewan Pers yang menjaga
kode etik wartawan. Persoalan penjaga kode etik ini, diharapkan tidak hanya
orang luar mengontrol, tapi diri kita sendiri yang sudah terikat profesi untuk
mengontrol,†katanya.
Menurut mantan wakil ketua MK
RI ini, rumusan kode etik tidak seperti rumusan hukum pidana, “barang siapa
yang melakukan begini atau begitu maka†– red, tidak. Sebuah kode etik lebih
memberikan satu individual kontrol terhadap subjektif kontrol terhadap apa yang
dilakukan berkaitan dengan profesinya.
“Sekarang ada kode etik yang
harus ditegakkan dalam penyelenggaraan pemilu. Jika terbukti melanggar kode
etik maka akan dijatuhi sanksi bagi, tapi beda dengan pendekatan hukum pidana, kalau
pelanggaran terhadap kode etik ini tujuannya bukan tidak suka atau akan memberi
hukuman pada mereka yang melanggar, itu nomor sekian. Tapi yang nomor satu
adalah menjaga kredibilitas,†tegas dia.
Harjono menjelaskan bagaimana
masyarakat saat ini belajar melaksanakan demokrasi. Salah satu yang kita pelajari
adalah bagaimana mempertahankan penyelenggara pemilu baik KPU maupun KPU
independen dan yang mandiri. Jaminan independensi ini dilakukan dengan merekrut
warga negara dengan sukarela, rekrutmen terbuka.
“Jadi kalau KPU dan Bawaslutidak
independen, maka proses pelaksanaan undang-undang dasar itu terganggu, akhirnya
agenda kenegaraan juga terganggu. Pada saat anda menjadi kepada KPU atau Bawaslu, kebebasan berpendapat
itu berkurang. Karena anda harus
menyatakan, saya independen, maka apa yang saya lakukan harus terlihat independen. Sanksi kode etik tujuannya bukan untuk
menghukum orang, tujuan utama nya adalah menjaga profesi tersebut,†lanjutnya.
Pada akhir paparannya,
Harjono menegaskan bahwa tugas DKPP adalah menjaga supaya penyelenggara pemilu dipercaya.
Kepercayaan ini datang dari sikap. Sikap bagaimana Bawaslu menegakkan keadilan
pemilu dan KPU melayani peserta pemilu serta rakyat pada saat akan menggunakan
hak pilih.
“Hukum itu berlayar di atas
lautan etika. Oleh karena itu hukum harus dekat dengan etika. Kalau hukum
ditegakkan dari luar, maka etika ditegakkan dari dalam. Bagaimana sebuah hukum
juga berlandaskan pada etika,†pungkasnya. [Diah Widyawati]