Jakarta, DKPP – Tim
Pansus DPRD Provinsi Kepulauan Riau menyambangi
Kantor DKPP membahas Pengembangan Kawasan Batam (PKB) siang ini, Kamis (17/3).
Rombongan diterima langsung oleh Ketua DKPP, Prof. Jimly Asshiddiqie, di Ruang Rapat DKPP lantai 5.
Ketua Pansus, Taba
Iskandar, menuturkan tujuan kedatangan rombongan adalah untuk mendapatkan
kajian hukum yang lebih komperehensif terhadap Pembentukan Otonomi Khusus Kota
Batam Pasca Keppres Nomor 8 Tahun 2016.
“Kami memandang
perlu melakukan konsultasi kepada Prof. Jimly selaku pakar hukum tata negara dan
pemerintahan daerah sehingga terang bagi kami pemahaman tentang konsep otonomi
asimetris,†tutur Taba.
Untuk diketahui, Presiden
telah menetapkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 8 Tahun 2016 tentang Dewan
Kawasan PBPB Batam pada 29 Februari 2016. Dalam keputusan tersebut dijabarkan
terkait penarikan kekuasaan Dewan Kawasan Batam yang diganti menjadi Dewan
Kawasan Nasional.
Menjawab pertanyaan dari Ketua
Pansus, Prof. Jimly, menyatakan bahwasanya Pemerintah setuju, hanya mekanisme
dan prosesnya saja yang bertahap. Namun, mengenai tahapan yang disebutkan belum
dirumuskan dengan rinci.
“Berikutnya adalah harus ada rumusan
dan disepakati bersama terlebih dahulu, karena daerah otonomi khusus berkaitan
dengan pembentukan UU sesuai dengan ketentuan UUD Pasal 18B ayat (1),†terang
Jimly.
Masih menurut Guru Besar Ilmu Hukum Tata Negara Universitas
Indonesia bahwa jangan
terlalu memusingkan permasalahan dualisme fungsi kelembagaan dalam Dewan
Kawasan. Yang patut dikhawatirkan adalah MEA. Ini masalah besar sekali dan
fokus permasalahan utama terkait pasar bebas. Dalam perwujudan Zona Ekonomi
Khusus harus mengikuti aturan dan ketentuan
umum yang berlaku. Batam
harus dilihat dalam bentuk satu kesatuan provinsi yaitu Kepulauan Riau. Presiden
dan Menko Perekonomian, lanjutnya, telah berkomitmen dalam upaya pembentukan
Otonomi Khusus dalam kalkulasi perekonomian.
“Harus
ada inovasi, seperti misalnya pintu ekonomi Indonesia. Satuan pemerintahan
dalam Otonomi daerah dalam lingkup provinsi bukan Kabupaten/Kota, dan juga
adanya fleksibilitas dari UU dalam pembentukan daerah istimewa atau daerah
khusus, seperti misalnya pembentukan Kabupaten Kepulauan Seribu,†tutur dia.
Penekanan perlunya
otonomi khusus, menurutnya, bukan karena
pertimbangan politik, tetapi pertimbangan perekonomian dalam otonomi. Kemudian,
harus ada penataan manajemen sesuai dengan visi yang dituju dan perlunya teknis
dan fungsional yang profesional.
“Yang menjadi permasalahan saat ini
adalah tentang kepastian hukum di
Indonesia dan kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah dalam memajukan perekonomian.
Kita harus ingat bahwa komitmen dalam pembentukan daerah otonomi ekonomi khusus
adalah oleh Pemerintah Pusat dan pengembangan otonomi khusus di Kepri dalam
pertahanan NKRI yakni dalam hal perekonomian terutama penerapan ekonomi bebas,â€
tutur dia. [Nur Khotimah]