Surabaya, DKPP – Dewan
Kehormatan Penyelenggara Pemilu menggelar kegiatan, “Sosialisasi Peraturan No. 2 Tahun 2017
tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Penyelenggara Pemilu dan Peraturan No. 3
Tahun 2017 tentang Pedoman Beracara Kode Etik Penyelenggara Pemilu†di Hotel
Singgasana, Kamis 9/11.
Anggota DKPP, Dr. Alfitra
Salamm menyampaikan catatannya pada acara tersebut. Menurut dia, Indonesia adalah
satu-satunya negara akan menyelenggarakan “excercise†Pilkada Serentak Tahun
2018. Jika pada Pemilu tahun 2019 Indonesia akan menggunakan lima kotak suara,
maka dapat dibayangkan jika pada tahun 2024 semua jenis pemilu akan dijadikan
satu, saat itu ada 2022 Plt kepala daerah di Indonesia.
“Saya berharap penyelengara
pemilu membaca dengan teliti kode etik, resapi, hayati dan laksanakan,†kata
Alfitra.
Dalam pengamatannya ada
beberapa potensi pelanggaran yang bisa dilakukan oleh penyelenggara pemilu.
Pertama, hubungan saudara dengan bakal calaon. “DKPP sudah mengatur itu. Bagi
penyelenggara pemilu yang memiliki hubungan saudara maka sejak verifikasi dia
tidak boleh lagi terlibat. Bahkan dalam rapat pleno dia harus mendeclare
hubungan tersebut,†jelas Alfitra.
Kedua, peraturan DKPP tidak
mengatur penggunaan media sosial. Meskipun tidak masuk dalam peraturan DKPP
tentang kode etik dan pedoman perilaku, dapat dibayangkan potensi medsos dalam
whatsapp grup jika penyelenggara satu grup dengan paslon misalnya. Atau foto
penyelenggara dengan paslon, jika ada yang sentimen bisa dilaporkan,†katanya.
Dalam perilaku sehari-hari penyelenggara
pemilu agar lebih berhati-hati. Hindari pertemuan yang dapat menimbulkan kesan
publik adanya pemihakan dengan peserta Pemilu tertentu sesuai ketentuan Pasal 8
huruf i peraturan No. 2 tahun 2017 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku
Penyelenggara Pemilu.
“Inti kode etik adalah pencegahan,
karena itu pertimbangkan baik buruk, ikuti hati nurani jika sudah ikuti aturan
Insya Allah tidak akan diadukan. Kode etik juga melindungi penyelenggara, hal
ini dibuktikan dengan lebih banyaknya sanksi rehabilitasi yang dijatuhkan
dibandingkan pemecatan,†tambahnya.
Ketiga, potensi pelanggaran di
tingkat adhoc,karena mereka hanya sekali dilantik dengan masa kerja sebentar
saja. Pelanggaran kode etik sanksinya buka hukuman penjara tetapi hanya nilai
malu. Jika melanggar pidana akan masuk lembaga pemasyarakatan, hukuman kurungan
sedangkan jika terbukti melanggar kode etik maka yang bersangkutan di keluarkan
tidak layak menjado keluarga besar penyelenggara pemilu.
“Total jumlah penyelenggara pemilu
dari pusat hingga daerah ada 4,5 juta orang. Mari bertekad menjadikan kode etik
sebagai penjaga martabat mereka,†punkas Alfitra.
Selain
stake holder penyelenggara pemilu
yakni KPU dan Bawaslu provinsi DKPP juga mengundang 38 KPU dan Panwas kab/kota
di Provinsi Jawa Timur, perguruan
tinggi, akademisi/dosen dan mahasiswa. DKPP juga mengundang anggota TPD
Provinsi Jawa Timur, pimpinan pemerintah daerah, tokoh masyarakat, pengurus
parpol, ormas, LSM, dan media.
[Diah Widyawati_5]