Jakarta, DKPP – Berbicara filsafat hukum di benak para pemikir, dosen dan
mahasiswa referensinya selalu ke barat. Memang, barat telah melahirkan
filsuf-filsuf terkenal. Sebut saja, Plato, Aristoteles, Socrates, dan
lain-lain. Kondisi tersebut tidaklah salah. Pasalnya, pada dasarnya keadilan
merupakan pikiran Sang Khalik.
“Keadilan menurut konsepsi para filsuf itu mendekati pikiran Tuhan,
meskipun tidak sempurna, kata Prof Teguh Prasetyo, anggota
Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu saat ditemui ruang kerjanya, Gedung Bawaslu
Lantai 5, Jakarta pada Senin 31/7.
Rujukan ke negeri barat itu membuat Prof Teguh risau. Ia tergelitik untuk
menggali konsepsi keadilan yang “original†dari Indonesia. Kemudian ia
menawarkan konsep keadilan bermartabat. Konsepsi keadilan bermartabat digali
dari falsafah Bangsa Indonesia. Jati diri Bangsa Indonesia yang
termanifestasikan dalam Pancasila. Pancasila merupakan sumber dari segala
sumber hukum dan sebagai idoelogi, sebagai falsafah bangsa dan negara.
Konsep keadilan yang dimaksud sangat berbeda dengan keadilan dari konsep
barat. Konsep keadilan menurut barat lebih pada properti. Lebih bersifat
kebendaan atau materilialistik. “Seperti sesuai dengan haknya. Sesuai dengan
jasanya, sesuai dengan prestasinya. Itu adalah hitung-hitungan material.
Spritual agak diabaikan,†terang dia.
Dekan Fakultas Hukum Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga itu
menjelaskan, ukuran keadilan bermartabat bersumber pada Pancasila khususnya
sila kedua yaitu kemanusiaan yang adil dan beradab. Adil dalam arti manusia
mengandung aspek material. Kemudian, sila kedua itu dijiwai oleh sila pertama,
yaitu Ketuhanan.
“Konsepsi keadilan bermartabat mengandung dua aspek. Pertama aspek
material, dan kedua aspek spiritual. Jadi keadilan yang saya kembangkan adalah
yaitu keadilan yang bermartabat atau dalam bahasa Inggrisnya dignified
justice yaitu keadilan yang memanusiakan manusia. Keadilan yang
menempatkan manusia pada porsi yang sebenarnya. Porsi yang seadilnya. Porsi
yang seutuhnya, katanya.
Keadilan bermartabat bisa diaplikasikan baik dalam konteks sosial,
berdemokrasi maupun dalam konteks penyelenggaraan Pemilu. Misalnya, dalam
peradilan etik, bagaimana memanusiakan manusia terhadap para pihak yang
berperkara. Kalau terjadi pelanggaran terhadap etika Pemilu, Undang-Undang Pemilu,
bagaimana DKPP menempatkan posisi yang pas terhadap para Teradu. “Konsep
keadilan bermartabat bisa diterapkan di DKPP. Itu yang semestinya kita gagas
dan selalu kita perjuangkan,†ucap pria berkacamata itu.
Dia bertekad, konsep keadilan bermartabat akan terus dikembangkan dan ia
sosialisasikan baik di dalam maupun di luar negeri. Ia telah memperkenalkan
keadilan bermartabat ke dunia internasional. Ia telah mengirimkan
tulisan-tulisan terkait keadilan bermartabat dan telah dimuat di tujuh jurnal
internasional. Belum lama ini, ia pun diundang oleh Fakultas Hukum Vrije
Universiteit Amsterdam, Belanda. Universitas tersebut memiliki 22 ribu
mahasiswa, dan termasuk salah satu universitas papan atas untuk ukuran di
Belanda. Ia diminta mempresentasikan terkait keadilan bermartabat.
“Saya bahagia pada saat kesempatan di Vrije Universitiet. Acara
berjalan lancar dan dapat sambutan yang luar biasa dihadiri oleh 3 guru besar
Fakultas Hukum Vrije Universiteit dan mahasiswa program doktor serta master.
Tiga guru besar yang hadir: Prof. Willem Bouwerns; Dean Of The Law; Prof. Hemme
Battjes dan Prof. Wouter Werner. Mereka sangat tertarik dengan pikiran-pikiran
saya tentang keadilan bermartabat,†ucap dia.
Dia menambahkan, Dekan Fakultas Hukum Vrije Universiteit Amsterdam menerima
bukunya yang berjudul Keadilan Bermartabat dan Pembaharuan Hukum
dalam Perspektif Teori Keadilan Bermartabat untuk dijadikan salah satu
referensi di perpustakaan pusat Vrije Universiteit Amsterdam. (Teten Jamaludin)