Jakarta,
DKPP-
Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) mengenai pencalonan dalam Pemilihan
Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil
Walikota menuai polemik. Satu poin yang mengundang polemik adalah terkait
pencalonan oleh partai politik yang sedang bersengketa. Hal ini menunjuk pada
dua parpol yang secara internal sedang terjadi sengketa, yakni Partai Golongan
Karya (Golkar) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Dalam peraturannya, Komisi
Pemilihan Umum (KPU) secara tegas memutuskan, partai yang sedang bersengketa
baru dapat mengajukan calonnya jika sudah diketahui kelompok siapa yang menang
menurut putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (inkracht). Atau opsi lain jika belum mendapat putusan inkracht, KPU meminta agar dua kelompok
mengambil jalan damai (islah). Batas waktu yang diberikan, baik inkracht atau islah, adalah sampai masa
tahapan pencalonan, yaitu 26-28 Juli 2015.
Ketika diminta pendapatnya
terkait hal ini, Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Prof Jimly
Asshiddiqie menilai keputusan yang diambil KPU sudah tepat. Sebelum mengambil
keputusan tersebut, kata Prof Jimly, sudah
ada dua opsi yang bisa saja dijadikan dasar oleh KPU. Pertama, opsi dari
pemerintah melalui Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham). Menurut
Kemenkumham, parpol yang berhak ikut Pilkada adalah yang memiliki Surat
Keputusan Menkumham. Akan tetapi, KPU memilih sikap lain karena SK Menkumham
terhadap Golkar dan PPP saat ini sedang digugat di pengadilan.
Opsi kedua datang dari Dewan
Perwakilan Rakyat. Pada prinsipnya DPR setuju bahwa parpol bersengketa yang
dapat ikut Pilkada adalah yang telah mendapat putusan inkrah dari pengadilan.
Namun, DPR mengusulkan, jika sampai tahap pencalonan belum memperoleh putusan
inkrah maka yang dipakai adalah putusan pengadilan yang paling terakhir. Dan
pada akhirnya, KPU tidak memakai opsi yang ditawarkan DPR.
“PKPU ini merupakan kewenangan
KPU untuk mengatur. Pemerintah maupun DPR tidak bisa mengintervensi atau
mendiktekan kemauannya. Memang, mekanisme penyusunan PKPU itu harus
dikonsultasikan ke pemerintah dan DPR. Masukan-masukannya wajib didengarkan.
Tetapi untuk menetapkan substansi peraturan tetap ada di tangan KPU sendiri,â€
terang Prof Jimly di kantor DKPP, Jakarta, Selasa (5/5/2015).
Prof Jimly mengetahui, dalam
persoalan ini antara eksekutif dan legislatif telah terjadi perbedaan pendapat.
Posisi KPU berada di dua pendapat itu. Dengan keluarnya PKPU itu, menurut Prof
Jimly, KPU telah berhasil keluar dari keharusan terperangkap dalam dualisme
pendapat.
“Di sinilah saya melihat KPU
telah menunjukkan independensinya. Soal independensi adalah soal etika. Justru
kalau KPU tidak independen, bisa masalah dia. KPU wajib bersikap independen,
bersikap netral walaupun dikasak-kusuk oleh pemerintah maupun DPR. Tidak boleh
tunduk, karena itu akan melanggar konstitusi dan undang-undang, dan akan
berhadapan dengan DKPP. Kalau ada yang melaporkan, bisa berat itu. Kalau dia tidak
independen, bisa dipecat. Ketua KPU maupun ketua Bawaslu dapat kami berhentikan
kalau tidak independen, termasuk dalam membuat peraturan. Jadi jangan
main-main!,†tegas Prof Jimly. (Arif Syarwani)