Jakarta, DKPP- Anggota KPU Kota Bukittinggi, Sumatera Barat, Tanti Endang Lestari, Senin (3/10), kembali menjalani sidang kode etik penyelenggara Pemilu. Ini menjadi sidang ketiga kalinya atas perkara dirinya yang diduga pernah terlibat partai politik. Seperti tuduhan para Teradu dari Bawaslu Provinsi Sumatera Barat, Tanti dianggap pernah menjadi pengurus DPC Partai Demokrat Kota Bukittinggi masa bakti 2012-2017 sebagai Wakil Bendahara V. Namun, seperti jawaban-jawaban dalam sidang sebelumnya, Tanti hari ini tetap membantah dirinya pernah terlibat di Partai Demokrat.
“Jawaban saya masih sama Majelis, saya membantah tuduhan pernah menjadi pengurus Demokrat,†tegas Tanti.
Tuduhan terhadap Tanti ini terbilang berat. Dari sekian perkara serupa yang pernah masuk ke DKPP dan terbukti kebenarannya, maka sanksi yang diberikan oleh DKPP adalah sanksi pemberhentian tetap. Pasal etis yang dilanggar adalah soal kepastian hukum. Sesuai ketentuan pasal 11 huruf i dan pasal 89 huruf i Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu setelah ada putusan MK, syarat penyelenggara Pemilu harus mundur dari partai politik dalam jangka waktu sekurang-kurangnya lima tahun sebelum mendaftar sebagai penyelenggara Pemilu. Pasal ini berlaku baik di lingkungan KPU maupun lingkungan Bawaslu.
Sidang kali ini digelar untuk mendengar keterangan saksi sesuai permintaan dua Anggota Tim Pemeriksa Daerah (TPD) DKPP wilayah Sumatera Barat Sri Zulchairiyah dan Adhi Wibowo. Kedua TPD ingin memastikan kebenaran karena tuduhan terhadap Teradu didasarkan adanya dua surat keputusan (SK) Partai Demokrat dan lampirannya. Dalam SK pertama di lampirannya terdapat nama Teradu, tetapi di SK kedua tidak ada nama Teradu. Saksi yang dihadirkan, Benny Mustika, yang merupakan Kasubbag Teknis KPU Bukittinggi mengaku tahu adanya dua SK tersebut. Dua SK itu pertama terkait pemilihan DPRD tahun 2012, yang kedua terkait Pemilukada 2015.
“Nama Bu Tanti ada dalam lampiran SK kepengurusan Partai Demokrat saat pencalonan Pemilukada 2015. Sedangkan dalam SK pencalonan DPRD tidak ada. Saya hanya tahu begitu, tetapi tidak tahu itu benar atau tidak,†terang Benny.
Terungkap juga dalam sidang, kedua SK tersebut memiliki perbedaan yang dianggap janggal. Kejanggalan terdapat pada SK saat Pemilu legislatif 2014, di antaranya font huruf khususnya di halaman 3 tidak sama dengan font di halaman depan. Sementara untuk SK Pemilukada, tidak ada perbedaan dari halaman pertama sampai terakhir. SK yang kedua ini pula yang dipakai oleh KPU RI seperti yang diunggah di laman KPU.
“Saya lebih percaya SK 2015, karena semua sama. Tata letaknya sama. Sedangkan yang SK DPRD sepertinya dibuat oleh pihak tertentu,†demikian komentar Anggota TPD Adhi Wibowo.
Semua fakta persidangan dan bukti-bukti yang ada oleh Ketua Majelis Valina Singka Subekti dianggap sudah cukup. Untuk itu, kemungkinan besar tidak ada sidang lanjutan. Sidang kali ini diadakan dengan video conference. Ketua Majelis memimpin sidang dari ruang sidang DKPP, Jakarta. Sedangkan TPD Sumbar, Pengadu, Teradu, Saksi, dan pihak Terkait semuanya hadir di Ruang Sidang Kantor Bawaslu Sumatera Barat di Kota Padang. (Arif Syarwani)