Jakarta, DKPP – Sidang kode etik dengan Teradu Ketua dan
Anggota Bawaslu RI menyajikan adu argumentasi, Kamis (14/12/2017).
Masing-masing saksi ahli memaparkan pandangan dan penafsirannya terkait dengan
Pasal 71 Undang-Undang No. 10 tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 1 tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati,
dan Walikota Menjadi Undang-Undang.
Pihak Pengadu, Taufik Basari dkk.
Teradu, ketua dan anggota Bawaslu RI: Abhan, Moch. Afifuddin, Rahmat Bagja,
Ratna Dewi Pettalolo, Fritz Edward Siregar. Yang hadir dalam sidang Abhan,
Rahmat Bagja, dan Moch. Afifuddin. Hal tersebut terungkap dalam sidang kode
etik Ketua dan Anggota Bawaslu RI dengan agenda mendengarkan keterangan saksi,
Kamis (14/12/2017). Saksi ahli Pengadu, Dr Dian Puji Nugroho Simatupang, SH MH,
dan Dr. Taufiqurrohman Syahuri, SH, MH. Sementara saksi yang dihadirkan oleh
Teradu, Prof Anna Erliyana SH MH.
Selaku ketua majelis Harjono, dan
anggota majelis Prof Muhammad, Alfitra Salamm, dan Ida Budhiati. DKPP juga
menghadirkan pihak terkait, Fegie
Y, Anugrah Pata. Wattimena dari Bawaslu Provinsi Papua dan
Izak Hikoyabi, dari KPU Provinsi Papua.
Salah satu pokok pengaduannya adalah
bahwa Bawaslu RI dinilai telah berlebihan dan di luar kewenangannya yaitu
terkait dengan rekomendasi diskualifikasi Mathius Awoitouw hanya karena Mathius
melakukan pemberhentian terhadap pejabat yang dilakukan setelah pemungutan
suara dan setelah pleno penghitungan hasil suara tingkat kabupaten. Para Teradu
dalam mengeluarkan Rekomendasi Nomor 0835/K.Bawaslu/PM 06.00/IX/2017 tanggal 20
September 2017 tidak mempertimbangkan seluruh unsur dalam Pasal 71 UU Nomor 10
Tahun 2016.
Menurut Dr Dian Puji
Nugroho Simatupang, SH MH, pergantian pejabat dalam peraturan
perundang-undangan di bidang aparatur sipil negara, khususnya UU Nomor 5 Tahun
2014 dan PP Nomor 11 Tahun 2017 diatur dalam dua bentuk, yaitu promosi, demosi,
dan mutasi. Namun, Penjelasan Pasal 71 ayat (2) Pasal 71 ayat (1) Undang-undang
Nomor 1 Tahun 2015 sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016,
hanya membatasi larangan pada mutasi. Dalam Permendagri Nomor 73 Tahun 2016,
pergantian pejabat mendefinisikan sebagai, “pemindahan pejabat dari satu jabatan ke
jabatan lain baik pada jabatan setara ataupun jabatan yang tidak setara.†“Pengertian tersebut menunjukkan tindakan yang
dilarang adalah rangkaian perpindahan beberapa jabatan yang dilakukan secara
definitif (tetap) yang menyebabkan perubahan personalia akibat motivasi
perkembangan organisasi dan/atau pertimbangan pejabat pembina kepegawaian
sendiri sesuai dengan kewenangannya,†jelas Dian.
Dr. Taufiqurrohman Syahuri, SH, MH
menjelaskan, dalam norma hukum itu ada dua, yaitu primer dan
sekunder. Primer berisi larangan, sementara sekunder berisi sanksi. Pasal 71
ayat 1-5 UU No 10 tahun 2016, norma sekundernya ada di ayat 5. Pada ayat 5
disebutkan bahwa KPU bisa menjatuhkan sanksi. Namun, terkait
pemberhentian pejabat di Jayapura belum termasuk kategori pelanggaran karena
tidak memenuhi unsur akumulatif dari Undang-Undang tersebut. “Syarat sanksi
ada, apabila telah terjadi pelanggaran dua ayat. Ayat dua dan ayat tiga.
Kalimatnya ‘dan’ bukan ‘dan atau’. Jadi bagaimana kalau terjadi pelanggaran
ayat dua, maka kategorinya belum bisa. karena di ayat lima, ayat dua dan ayat
tiga. Kecuali, bila dalam bentuk undang-undang ini, disebutkan ‘dan garis
miring atau’. Baru bisa alternatif,†jelas doktor ilmu hukum Universtas
Indonesia.
Sementara itu, Prof Anna Erliyana
berpendapat, asal muasal dari Pasal 71 ayat 1-5 UU No 10 tahun 2016 sebenarnya
ada maksud baik dari pemerintah. Yatu, mencegah perbuatan kepala daerah yang
berkuasa bertindak sewenang-wenang terhadap orang-orang tertentu di lingkungan
pemerintah yang tidak segaris dengan penguasa. Pasal tersebut merupakan
kemajuan yang sangat berarti, karena bila tidak ditambah pasal tersebut, tidak
ada kontrol dan sejarah bisa terulang kembali pada zaman Orde Baru. Birokasi
dipolitisasi untuk mendukung penguasa. “Tentu kita tidak mau (kembali ke zaman
orde baru, red). Janganlah melakukan mutasi-mutasi seperti itu karena apa
karena mengudang prasanka buruk terutama dari lawan-lawan politiknya atau dia
juga menjadi korban, katanya.
Anna pun berpandangan bahwa proses
izin dari Kementerian Dalam Negeri terkait pemberhentian yang dilakukan
oleh incumbent di Kabupaten Jayapura sudah ditempuh atau
belum. Selain itu, apakah pemberhentian itu sudah dilakukan secara prosedur
atau tidak. Selain itu, masih ada rentang waktu selama rentang
Pilkada.
“Jika proses-proses administrasi yang
tidak ditempuh dengan betul, ujung-ujungnya akan menghasilkan SK yang batal
demi hukum. Karena penghukuman di PNS itu sudah sangat rapi prosesnya. Tidak
bisa seorang pegawai negeri sipil, ujug-ujug dipecat,†terang anggota DKPP
periode 2012-2017.
Untuk diketahui, Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 10 tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 1 tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati,
dan Walikota Menjadi Undang-Undang, Pasal 71 ayat (1) Pejabat negara, pejabat
daerah, pejabat aparatur sipil negara, anggota TNI/POLRI, dan Kepala Desa atau
sebutan lain/Lurah dilarang membuat keputusan dan/atau tindakan yang
menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon.
Ayat (2) Gubernur atau
Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, dan Walikota atau Wakil Walikota
dilarang melakukan penggantian pejabat 6 (enam) bulan sebelum tanggal penetapan
pasangan calon sampai dengan akhir masa jabatan kecuali mendapat persetujuan
tertulis dari Menteri. Ayat (3) Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati
atau Wakil Bupati, dan Walikota atau Wakil Walikota dilarang menggunakan
kewenangan, program, dan kegiatan yang menguntungkan atau merugikan salah satu
pasangan calon baik di daerah sendiri maupun di daerah lain dalam waktu 6
(enam) bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan penetapan
pasangan calon terpilih.
Ayat (4) Ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3)
berlaku juga untuk penjabat Gubernur atau Penjabat Bupati/Walikota.
Ayat (5) Dalam hal
Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, dan Walikota atau Wakil
Walikota selaku petahana melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dan ayat (3), petahana tersebut dikenai sanksi pembatalan sebagai
calon oleh KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota.
Ayat
(6) Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
sampai dengan ayat (3) yang bukan petahana diatur sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. [Teten Jamaludin]